Mohon tunggu...
Syahrani Abda Syakura
Syahrani Abda Syakura Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Sosiologi UNJ

Membaca jendela dunia, menulis mencetak sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hallyu Wave: Budaya Kapital, Pastiche, dan Simulasi

16 Juni 2023   08:13 Diperbarui: 16 Juni 2023   08:21 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Apa yang terlintas dibenak kamu ketika mendengar negara Korea Selatan? Pasti berbagai hal mucul di kepala tentang bagaimana budaya di dalamnya, seperti musik K-pop, drama, tteokbokki, manhwa, wajah aktor yang tampan dan cantik. Dalam sosiologi konteks ini disebut dengan kebudayaan. Populernya kebudayaan Korea Selatan yang masuk ke negara-negara di berbagai belahan dunia disebut dengan 'Hallyu' atau secara harfiah berarti 'Gelombang Korea'.

Korea Selatan sebagai salah satu negara di Asia berkembang dengan sangat cepat, dilihat dari kesuksesannya dalam membangun negara yang awalnya berbasis pertanian menjadi negara dengan sektor industri maju dalam waktu yang relative singkat, setelah terjadinya keterpurukan ekonomi di tahun 1997-1998.[1] Namun ditahun yang sama (1998) pemberitaan K-Drama dan K-pop mulai mendominasi surat kabar dan majalah di China, dan sebutan 'Hallyu' ini muncul dari seorang jurnalis China melihat hal tersebut. Pada tahun 1999, Beijing Youth Daily, salah satu media cetak di Cina, menggunakan istilah Hallyu dalam laporan mereka tentang konser sukses grup idola K-Pop di Beijing. Sejak saat itu, istilah Hallyu sering digunakan untuk menggambarkan popularitas budaya Korea Selatan di luar negeri.

 Saat ini Hallyu sudah menyebar dan kian booming di berbagai benua seperti Autralia, Amerika, Afrika, dan Eropa. Peminat yang cukup banyak membuat membuat Hallyu cukup digemari oleh berbagai kalangan masyarakat tertama pada produksi drama yang tayang di siaran televisi dan musik-musik dari beragam boyband atau girlband. Hallyu dengan konsumsi budaya yang tinggi di masyarakat menjadi sebuah budaya popular. Budaya popular sendiri (Griswold, 2013), "Budaya populer jelas termasuk produk-produk budaya massal seperti acara televisi, majalah populer, dan mode siap pakai. Ini juga mencakup, dan menekankan, kebijaksanaan, akal sehat, nilai-nilai, dan gaya hidup "orang-orang," terutama mereka yang tidak berkuasa dan tidak kaya - kelompok yang, menurut Bourdieu, kurang memiliki modal ekonomi dan budaya. Dalam hal ini, ini mengacu pada definisi "cara hidup" antropologis lama tentang budaya."

Dalam pemahaman Fredric Jameson, budaya kapital merujuk pada produksi, distribusi, dan konsumsi budaya yang terjadi dalam konteks ekonomi kapitalis yang dominan. Budaya kapital mencerminkan penyebaran global kapitalisme dan komodifikasi budaya di bawah logika pasar. Hallyu Wave sebagai fenomena budaya kapital menggambarkan bagaimana industri hiburan Korea Selatan, didorong oleh kekuatan ekonomi dan strategi pemasaran, berhasil memanfaatkan pasar global untuk meningkatkan popularitas produk budaya mereka. Hal inilah yang akan kita bahas dalam sub selanjutnya.

 

Hallyu Wave sebagai Budaya Kapital

Fenomena Hallyu wave atau 'gelombang Korea' pertama kali terjadi di Tiongkok dimulai dengan populernya drama korea (drakor) yang kemudian menyebar di Asia hingga hampir ke seleuruh dunia. Masuknya drakor membuat masyarakat tertarik untuk mempelajari budaya Korea lebih dalam dengan menerima bentuk lain dari budaya Korea seperti musik K-pop, Film, Game, Komik, Fashion, Kosmetik, Teknologi, Masakan hingga bahasa Korea. Fenomena tersebut tentu dapat dijelaskan dalam teori postmodern yang dikembangkan oleh Fredric Jameson.

 Jameson melihat bahwa budaya postmodern memiliki konsep periodisasi terhadap 'budaya dominan' dari kapitalisme multinasional sebagai produk industri. Penyebaran budaya dominan ini tidak luput dari globalisasi yang terjadi di era postmodern yang mencampur adukan berbagai elemen dari budaya suatu negara. Hallyu wave menjadi salah satu dampak adanya globalisasi.

Masuknya budaya korea ke negara-negara di dunia melalui media informasi yang begitu cepat dan ketertarikan masyarakat membuat budaya korea dapat diterima dengan mudah. Namun jika dilihat berdasarkan perspektif Jameson, Hallyu wave yang membawa masuk budaya korea bukan hanya membawa ideologi tetapi juga melibatkan aktivitas ekonomi didalamnya. Budaya korea yang diminati berbagai kalangan menjadi sebuah 'budaya dominan' yang dimanfaatkan kapitalisme untuk mencari keuntungan melalui produk-produk yang diciptakan menjadi sebuah simbol-simbol tertentu dalam masyarakat postmodern. Contohnya adalah, ketika K-pop menjadi suatu hal yang populer maka bukan hanya budaya yang dipertontonkan melalui tarian atau musik, tapi juga merchandise yang dijajarkan didalamnya berupa produk seperti stick light yang berbeda dari setiap boyband/girlband, foto-foto member, album, hingga fashion yang digunakan yang tentu saja menguntungkan pihak kapitalisme dengan peminat yang banyak sehingga pengusaha (kapitalis) mampu mengeksploitasi para penggemar melalui harga yang fantastis. Para penggemar pun telah termanipulasi dengan ide bahwa membeli maka telah mendukung para idolanya dan semakin mirip mereka dengan idola tersebut.

 

Hallyu sebagai budaya Pastiche dan simulasi

Budaya dominan dengan peminat yang banyak melahirkan apa yang disebut Jameson sebagai budaya Pastiche. Meniru budaya sebagai salinan kosong dan mencampurkan elemen budaya yang berbeda sehingga menghasilkan suatu yang baru. Gelombang Korea dengan K-pop-nya yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 2011 dan menjadi populer melahirkan bentuk peniruan budaya dengan munculnya boyband dan girlband yang divariasikan menggunakan lagu berbahasa Indonesia, alih-alih kreativitas murni budaya ini menjadi 'budaya kutipan' yang megikuti budaya sebelumnya.

Dalam pemikiran Jameson ia juga mengutip konsep 'simulasi' dalam pemikiran Baudrillard yang terjadi pada budaya postmodern. Dimana simulasi membuat budaya postmodern kehilangan realitas dan digantikan dengan citra material sebagai representasi kenyataan. Hal inilah yang terjadi dalam Hallyu Wave. Budaya korea yang menampakkan aktor cantik dan tampan dalam drakornya, atau pada idola-idola K-popnya membuat masyarakat percaya bahwa hal tersebut merupakan kenyataan yang ada di Korea sebagai gen yang menghasilkan kecantikan dan ketampanan yang alami. Padahal apa yang ditampilkan dalam drama merupakan kenyataan palsu, banyak dari kecantikan yang diperoleh adalah hasil dari operasi plastik. Kemudian template drama korea yang cenderung romantis memanipulasi masyarakat dengan keadaan yang melebihi kenyataan atau hyperreality, membawa imajinasi sebagai realita palsu ke dalam realitas sebenarnya. Cerita romantis menjadi representasi agar masyarakat korea dapat percaya akan cinta yang sebenarnya karena banyaknya kasus perceraian yang terjadi di negara tersebut. Namun adanya simulasi membuat masyarakat tidak peduli bahwa tentang apa yang dilihatnya sebagai suatu kenyataan asli atau hanya sebuah kepalsuan.

Pastiche dan simulasi juga terjadi dalam komik-komik dan cerita dalam drama korea. Pastiche melahirkan komik-komik dan drakor dengan cerita tentang sejarah, mitos dari budaya korea yang kemudian dimodifikasi menjadi sebuah cerita yang diinginkan dan mengikuti perkembangan zaman, memunculkan sebuah simulasi dari narasi-narasi yang diberikan kepada masyarakat. Pastiche dan simulasi ini menghilangkan cerita dan makna yang sebenarnya dalam sejarah dan mitos yang dipercaya, namun keindahan dari citra yang diberikan membuat konsumen percaya bahwa cerita-cerita tersebut merupakan hal yang nyata atau cenderung tidak lagi peduli pada perbedaan keduanya. Misalnya seperti drakor My Roomate is Guminho, yang menggabungkan kepercayaan dari mitos rubah ekor sembilan dengan era modern saat ini, atau cerita-cerita kerjaan yang dikemas layaknya sejarah yang sebenarnya dengan tokoh dan daerah yang benar adnaya namun ceritanya sudah tidak lagi asli dan dibumbui oleh hiburan semata contohnya adalah drakor Empress Ki, Fusion-sageuk, Dae Jang Geum, Dong-Yi. Atau cerita webtoon dengan judul uga-uga yang mengangkat cerita tentang suku primitif di korea yang juga dipercaya sebagai sejarah dari korea itu sendiri, namun telah dibumbui dengan narasi hiburan dan cerita fiksi karangan serta budaya modern yang ada.

 

Kesimpulan

Gelombang Korea atau Hallyu Wave yang merebak ke hampir seluruh dunia, memuat budaya ini sebagai budaya popular yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Namun budaya popular ini dimanfaatkan oleh kapital dalam membuat berbagai produk-produk yang kemudian dikomersialkan. Banyaknya peminat membuat kaum kapitalisme mampu mengekploitasi para penggemar yang fanatik dengan budaya korea seperti boyband/girlband, drama korea, manhwa, dll dengan harga yang cukup fantastis, dan hal tersebut dilihat sebagai hal wajar bagi para penggemarnya untuk menjadi mirip dengan idola mereka dan sebagai bentuk dukungan.

Akan tetapi, banyaknya peminat dari Hallyu Wave ini membuat budaya tersebut tidak bermakna, seperti yang disebut Jameson sebagai budaya Pastiche. Budaya yang diproduksi masyarakat hanya sekedar budaya kosong yang meniru budaya sebelumnya untuk memenuhi pasar dari banyaknya peminat. Budaya ini juga disebut Jameson sebagai simulasi yang menggantikan realitas dengan citra material sebagai realitas palsu yang memanipulasi masyarakat sehingga masyarakat tidak peduli bahwa tentang apa yang dilihatnya sebagai suatu kenyataan asli atau hanya sebuah kepalsuan.


Referensi

Aditya. (2022, March 10). Postmodernisme Dalam pandangan Fredric Jameson. Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman. Retrieved April 5, 2023, from https://lpikuinsgd.org/postmodernisme-dalam-pandangan-fredric-jameson/

Alex. (2022, July 1). Kapitalisme Lanjut Dalam posmodern; Fredric Jameson. Retrieved April 5, 2023, from https://kajiansosial.com/2022/07/01/kapitalisme-lanjut-dalam-posmodern-fredric-jameson/

Amellita, N. (2010). Kebudayaan Populer Korea: Hallyu dan Perkembangannya di Indonesia. Kebudayaan Populer Korea: Hallyu Dan Perkembangannya Di Indonesia. Retrieved June 15, 2023, from https://lib.ui.ac.id/detail?id=20160925&lokasi=lokal#

Azwar, M. (2014). TEORI SIMULAKRUM JEAN BAUDRILLARD DAN UPAYAPUSTAKAWAN MENGIDENTIFIKASI INFORMASI REALITAS. Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, Vol. 2 (No. 1,), 38--48.

Chania S, E. (2022, June 2). Mengenal Hallyu Wave, Demam Budaya Korea Yang Mendunia. Pikiran. Retrieved April 5, 2023, from https://www.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-014623820/mengenal-hallyu-wave-demam-budaya-korea-yang-mendunia?page=3

Jamaan, A., & Sari, I. C. (2014). Hallyu Sebagai Fenomena Transnasional (Doctoral dissertation, Riau University). Retrieved June 15, 2023, from https://www.neliti.com/publications/31286/hallyu-sebagai-fenomena-transnasional

Rastati, R. (2020, June 18). Drama Korea Kolosal: Dari Akurasi hingga distorsi sejarah. kumparan. Retrieved April 5, 2023, from https://kumparan.com/rannyrastati/drama-korea-kolosal-dari-akurasi-hingga-distorsi-sejarah-1tdVfAkwm6v

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun