Mohon tunggu...
Syahrani Abda Syakura
Syahrani Abda Syakura Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Sosiologi UNJ

Membaca jendela dunia, menulis mencetak sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Pendidikan: Pendidikan Pasca Pandemi dari Perspektif Paulo Freire

22 Desember 2022   21:36 Diperbarui: 22 Desember 2022   22:05 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebiasaan untuk selalu menerima apa yang diberikan dalam konsep pendididkan gaya bank ini berlanjut di era new normal dalam pembelajaran tatap muka. Dilihat dari pasifnya respon peserta didik di dalam kelas dan diskusi, karena menjadikan guru sebagai kiblat pengetahuan mereka. Pendidikan gaya bank telah mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir serta tidak munculnya kesadaran kritis pada diri peserta didik. Padahal seharusnya institusi pendidikan menjadi wadah berpikir yang memberikan kebebasan dalam berpendapat dan membangun nalar kritis sebagai tujuan utama. Maka dalam menemukan kembali humanisasi dalam institusi pendidikan Freire menawarkan konsep pengajaran hadap masalah.

Pengajaran Hadap Masalah dan Kesadaran Kritis

Sementara pendidikan gaya bank membius dan mematikan daya kreatif, maka pendidikan hadap masalah menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terus-menerus. Di mana yang disebutkan pertama berusaha mempertahankan penenggelaman kesadaran sementara yang disebut di akhir berjuang untuk kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas. Pendidikan hadap masalah menjadi praktik kebebasan peserta didik dalam menghubungkan masalah-masalah dengan dunia dan akan menciptakan rasa tertantang dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini. 

Konsep pendidikan hadap masalah menggunakan konsep dialogis yang oleh Freire menjadi antitesa dari konsep pendidikan 'gaya bank', yang dilatar belakangi oleh semangat perjuangan untuk menempatkan humanisasi sebagai episentrum pendidikan. Sehingga pendidikan hadap-masalah menjadi upaya dalam mengurangi keterasingan dan dehumanisme yang ada di institusi pendidikan.

Pada dasarnya pengajaran hadap masalah adalah suatu usaha untuk menjawab diskomunikasi antara guru dengan murid menuju suasana dialogis. Melalui dialog atau dialektika pendidikan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis peserta didik dari kemampuannya merefleksikan kondisi personalnya terhadap dinamika sosial yang terjadi disekelilingnya. Dalam praktik ini guru bukan lagi sebagai pengajar, tetapi antara guru dan peserta didik merupakan aktor yang sama-sama belajar layaknya rekan pada saat berinteraksi di dalam kelas.  Wacana ini dapat meningkatkan kesadaran terhadap guru dan murid sehingga proses dalam belajar dapat naik satu tingkat lebih tinggi. Konsep pendidikan ini dapat menjadi pertimbangan dalam penerapan pendidikan pasca pandemi untuk beradaptasi dengan struktur sosial yang baru.

Maka pendidikan di era new normal harus bersifat learning to do (belajar berbuat) agar peserta didik dapat mandiri dalam belajar dan mengatasi masalah yang dihadapi di kehidupan sehari-harinya. Learning to live together (belajar hidup bersama) dan learning to be, sebagai sarana membentuk kepribadiannya. Sehingga pendidikan tidak hanya beorientasi pada nilai akademik saja tapi terpenuhi dari segi afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, dalam era globaliasi ini pendidikan mampumembangun habituasi baru untuk melahirkan lulusan yang berorientasi masa depan, bersikap progresif, mampu memilah dan memilih secara bijak dan membuat perencanaan dengan baik.

Berdasarkan pendidikan kritis ini maka akan menumbuhkan rasa percaya didri yang penuh pada diri peserta didik dan mampu membuat pilihan yang bijak serta bersaing dalam era globalisasi secara kopetitif. Hal ini disebabkan model pengajaran hadap masalah adalah model pengajaran yang mampu mendinamisasikan dan membelajarkan peserta didik dalam proses belajar mengajar, sehingga tujuan pendidikan mamanusiakan manusia mampu tercapai dan pendidikan sebagai praktek pembebasan.

Oleh sebab itu, pemerintah sedang berusaha membangun kurikulum yang sepadan dengan kebebasan bagi peserta didik dalam kurikulum merdeka. Agar perkembangan teknologi yang pesat tidak akan sia-sia dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Maka kurikulum yang baik adalah hasil dari pikiran yang tidak tertindas dan dilandasi dengan argumen yang kuat.

Kesimpulan

Pesatnya perkembangan peradaban harus diiringi dengan pola pikir yang sehat dan bebas, sehingga mampu melahirkan pikiran-pikiran kritis. Untuk menunjang hal tersebut pendidikan dan kurikulum harus di desain sedemikian rupa agar dapat memberi dorongan dalam berpendapat dan melahirkan kepekaan sosial terhadap perubahan yang terjadi. Pendidikan 'gaya bank' sudah tidak diperlukan dan harus diganti dengan pendidikan hadap-masalah agar tercipta habitus baru dalam globalisasi yang menciptakan nalar kritis di masyarakat.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun