Untuk Peter,
Maaf aku meninggalkan surat ini dan pergi begitu saja. Aku nggak bisa bertemu dan pamit padamu karena aku ga bisa berjanji denganmu.
Aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal. Tapi semoga kamu tetap sehat sampai kita bertemu kembali. Aku selalu bersyukur karena kamu selalu jadi teman terbaikku,
Dari Horan
Peter terus berulang kali membaca surat itu. Peter tidak mengeluarkan air mata, tapi dia terlihat seperti ingin menangis. Sejak saat itu, aku dan Peter mencari dan membaca surat dari Horan bersama – sama.
Hari ini aku dirawat di rumah sakit karena demam. Peter menjengukku, aku sedang mengobrol dengan dokter. Peter bertanya bagaimana aku bisa dekat dengan dokter di sini. Lalu aku menceritakan bahwa saat kecil aku dirawat di rumah sakit ini dalam waktu yang lama.
Peter mengatakan dia akan mencari surat selanjutnya lalu membacanya bersama ku di sini. Aku setuju, karena aku juga penasaran dengan surat selanjutnya. Peter pun kembali ke sekolah dan mencari surat dari Horan. Pada sore hari aku mendapat telefon dari Peter. Peter berbicara dengan tergesa – gesa tentang surat yang dia temukan, aku sama sekali tidak mengerti perkataannya. Aku menyuruhnya tenang dan berbicara perlahan – lahan.
“Horan.. dia bukan pindah ke luar negeri,”
“apa maksudmu?” Tanyaku bingung.
“dia pergi untuk operasi..katanya penyakit masa kecilnya kambuh lagi,” jelas Peter sambil menangis.
“tempat surat terakhir.. ada di taman bagian anak rumah sakit tempat kamu dirawat sekarang,”
“surat yang ini ada di tempat aku dan Horan pertama kali bertemu. Makanya aku ga tau tempat persis surat terakhirnya. Sora, dulu kamu pernah tinggal di daerah sini kan? Kamu juga bilang pernah dirawat lama di rumah sakit kan? Apa waktu kamu dirawat dulu, kamu pernah bertemu dengan Horan?” Tanya Peter.
“… menurutku dari awal Horan itu engga nulis surat untuk sembarang orang yang duduk di kursinya, tapi dia menulis surat itu untuk kamu yang akan duduk di kursinya,” sambung Peter.