Isu lingkungan juga menjadi perhatian utama. Dengan dorongan besar pada pembangunan, risiko kerusakan lingkungan menjadi lebih tinggi. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan harus menjadi prioritas, mengingat dampak negatif pembangunan yang tidak terkendali dapat merusak fondasi ekonomi jangka panjang. Penerapan kebijakan ekonomi hijau, seperti pengurangan emisi karbon, investasi pada energi terbarukan, dan praktik pertanian berkelanjutan, menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya tinggi tetapi juga bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 8% membawa harapan besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di panggung global dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Namun, manfaat dari angka ini hanya dapat dirasakan secara optimal jika dikelola dengan baik melalui kebijakan yang inklusif, berkelanjutan, dan berorientasi pada pemerataan. Dengan langkah yang tepat, angka ini tidak hanya menjadi simbol statistik, tetapi juga pendorong transformasi nyata menuju masa depan yang lebih cerah, adil, dan stabil bagi seluruh masyarakat.
Pesimisme: Apakah Angka Ini Berkelanjutan?
Angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8% memang terdengar sangat mengesankan, tetapi bagi sebagian pihak, pencapaian ini justru memunculkan kekhawatiran. Salah satu pertanyaan utama adalah apakah angka ini benar-benar mencerminkan kondisi ekonomi yang sehat dan berkelanjutan, ataukah hanya menjadi pencapaian sementara tanpa fondasi yang kokoh. Kekhawatiran ini berakar pada sejumlah isu mendasar, termasuk validitas data, ketergantungan ekonomi pada sektor tertentu, distribusi manfaat pertumbuhan, hingga dampak lingkungan yang sering kali diabaikan.
Skeptisisme terhadap angka pertumbuhan yang tinggi sering kali berpusat pada akurasi dan transparansi data yang disajikan. Dalam beberapa kasus, negara-negara berkembang dituding memanipulasi data makroekonomi untuk menciptakan citra positif di mata investor internasional. Ketika data seperti inflasi, pendapatan nasional bruto (PNB), atau angka kemiskinan tidak sesuai dengan realitas di lapangan, kredibilitas pemerintah dalam menyampaikan kinerja ekonomi menjadi dipertanyakan. Hal ini juga berdampak pada kepercayaan investor, yang dapat menahan modalnya jika mencium adanya ketidaksesuaian dalam angka-angka ekonomi tersebut. Validitas angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8% hanya dapat dipastikan jika didukung oleh data transparan yang mencerminkan kondisi riil.
Ketergantungan yang berlebihan pada sektor tertentu, seperti ekspor komoditas dan investasi asing langsung (FDI), juga menjadi salah satu kelemahan utama yang perlu dicermati. Perekonomian Indonesia, misalnya, masih sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti minyak sawit, batu bara, dan gas alam. Sektor ini rentan terhadap fluktuasi harga global, seperti yang terjadi selama krisis komoditas global 2014–2015, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 4,8%. Selain itu, investasi asing, meskipun memberikan dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi, memiliki risiko tersendiri. Ketika perekonomian global mengalami perlambatan atau terjadi ketegangan geopolitik, investor asing dapat menarik modalnya, yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi domestik.
Ketimpangan sosial juga menjadi isu yang tidak dapat diabaikan dalam diskusi mengenai pertumbuhan ekonomi. Tingginya angka pertumbuhan sering kali tidak diiringi dengan pemerataan manfaat. Berdasarkan data dari Bank Dunia, koefisien Gini Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 0,38, yang menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan masih cukup signifikan. Dalam banyak kasus, pertumbuhan hanya dinikmati oleh kelompok elit ekonomi dan masyarakat kelas menengah ke atas, sementara kelompok rentan tetap tertinggal. Ketimpangan ini tidak hanya menghambat pemerataan kesejahteraan, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan sosial dan politik, terutama jika masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat dari pertumbuhan yang tinggi.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi sebesar 8% juga membawa dampak serius terhadap lingkungan. Pembangunan yang berorientasi pada angka pertumbuhan tanpa memperhatikan keberlanjutan sering kali menimbulkan kerusakan ekologis yang besar. Deforestasi untuk ekspansi lahan sawit, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan meningkatnya emisi karbon adalah beberapa contoh nyata dari dampak negatif pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali. Menurut data Global Forest Watch, Indonesia kehilangan sekitar 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2021, sebagian besar disebabkan oleh ekspansi industri. Kerusakan lingkungan ini tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga mengganggu keberlanjutan jangka panjang perekonomian itu sendiri.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu identik dengan keberhasilan. Fondasi ekonomi yang rapuh, ketergantungan pada sektor tertentu, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan adalah ancaman nyata yang harus diatasi. Reformasi struktural menjadi sangat penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah perlu mendorong diversifikasi ekonomi, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan berinvestasi dalam pendidikan serta kesehatan untuk membangun sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Selain itu, adopsi kebijakan pembangunan berkelanjutan, termasuk transisi menuju ekonomi hijau, harus menjadi prioritas untuk memitigasi dampak lingkungan.
Angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8% memang membawa harapan besar, tetapi manfaat dari angka ini hanya dapat dirasakan secara nyata jika dikelola dengan baik. Tanpa upaya untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, pertumbuhan ini berisiko menjadi sekadar angka statistik yang tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat luas. Keberlanjutan, inklusivitas, dan pemerataan harus menjadi prinsip utama dalam upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang benar-benar memberikan manfaat bagi semua pihak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Jalan Tengah: Pertumbuhan Berkelanjutan dan Inklusif