Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Baby Boomers dan Gen Z: Jembatan Antara Gagap Teknologi dan Gagap Interaksi

21 Desember 2024   15:07 Diperbarui: 22 Desember 2024   12:21 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam peradaban manusia yang terus berkembang, setiap generasi membawa ciri khas yang mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan teknologi pada zamannya. Dua generasi yang sering diperbandingkan saat ini adalah generasi Baby Boomers dan Gen Z. Baby Boomers, yang lahir antara tahun 1946 hingga 1964, mengalami masa-masa pasca Perang Dunia II yang ditandai dengan stabilitas ekonomi dan ledakan populasi, sedangkan Gen Z, yang lahir setelah tahun 1996, tumbuh di era digital dengan internet dan teknologi canggih sebagai bagian integral dari kehidupan mereka. Menurut Pew Research Center (2019), lebih dari 80% Gen Z memiliki akses ke smartphone sejak usia remaja, sementara data Statista (2022) menunjukkan bahwa hanya 53% Baby Boomers yang secara aktif menggunakan media sosial secara teratur.

Keduanya memiliki pola pikir, gaya hidup, dan cara berinteraksi yang sangat berbeda, yang tidak jarang menimbulkan jurang komunikasi. Salah satu perbedaan mencolok adalah bagaimana Baby Boomers kerap dianggap "gagap teknologi," karena mereka umumnya merasa kesulitan untuk mengikuti perkembangan teknologi digital yang sangat cepat. Sebuah survei yang dilakukan oleh AARP (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 40% Baby Boomers merasa tidak percaya diri dalam menggunakan teknologi baru tanpa bantuan. Di sisi lain, Gen Z, yang dikenal sebagai "digital native," sering kali disebut "gagap interaksi" dalam konteks tatap muka. Sebuah studi oleh Common Sense Media (2022) melaporkan bahwa lebih dari 70% Gen Z lebih nyaman berkomunikasi melalui teks atau media sosial dibandingkan secara langsung, meskipun ini sering kali dikaitkan dengan meningkatnya tingkat kecemasan sosial dalam kelompok usia tersebut.

Perbedaan ini mengundang pertanyaan: bagaimana kedua generasi ini dapat saling memahami dan beradaptasi di tengah perkembangan zaman yang terus bergerak maju? Dengan memahami konteks historis dan data empiris yang mendasari karakteristik masing-masing generasi, kita dapat mengeksplorasi peluang untuk menciptakan harmoni dan kolaborasi yang saling melengkapi.

Baby Boomers dan Tantangan Teknologi

Baby Boomers, yang lahir antara tahun 1946 dan 1964, tumbuh di era ketika teknologi digital belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Pada masa itu, perangkat seperti telepon kabel, mesin tik, dan televisi hitam putih dianggap sebagai teknologi canggih. Generasi ini menyaksikan awal perkembangan teknologi analog yang berperan besar dalam membentuk kehidupan mereka. Namun, ketika revolusi digital mulai melanda pada akhir abad ke-20 dengan munculnya komputer pribadi, internet, dan akhirnya smartphone, Baby Boomers dihadapkan pada tantangan besar untuk beradaptasi dengan perkembangan yang terjadi begitu cepat.

Survei dari Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa hanya sekitar 65% Baby Boomers merasa nyaman menggunakan perangkat digital dibandingkan dengan 93% generasi milenial. Tantangan ini semakin terasa ketika mereka harus beralih ke penggunaan teknologi yang lebih kompleks seperti aplikasi berbasis cloud, perangkat lunak kerja kolaboratif, dan media sosial. Bahkan, menurut laporan AARP (2020), lebih dari 37% Baby Boomers menyatakan mereka membutuhkan bantuan untuk memahami teknologi baru, seperti pengaturan perangkat atau penggunaan aplikasi.

Stereotip tentang Baby Boomers sebagai generasi yang "gagap teknologi" sering kali muncul dari ketidakpastian mereka terhadap teknologi digital. Hal ini dapat berdampak pada rasa percaya diri mereka, terutama di tempat kerja atau lingkungan sosial yang semakin didominasi oleh generasi muda dengan keterampilan digital yang lebih tinggi. Banyak Baby Boomers yang merasa terpinggirkan dalam dunia modern, seperti yang diungkapkan dalam laporan dari World Economic Forum (2022), yang mencatat bahwa Baby Boomers sering kali merasa kesulitan bersaing dalam dunia kerja yang menuntut literasi teknologi tinggi.

Namun, penting untuk mencatat bahwa di balik keterbatasan mereka dalam teknologi, Baby Boomers memiliki keunggulan yang signifikan. Generasi ini dikenal karena pengalaman hidup yang mendalam dan kemampuan berpikir kritis yang telah diasah selama bertahun-tahun. Sebuah studi oleh Harvard Business Review (2019) menunjukkan bahwa Baby Boomers unggul dalam menyelesaikan masalah kompleks, berkat kombinasi pengalaman mereka dan kemampuan untuk melihat gambaran besar.

Selain itu, Baby Boomers sering kali menunjukkan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan mereka, dengan etos kerja yang sangat kuat. Generasi ini dikenal gigih dalam mengejar hasil, bahkan ketika dihadapkan pada situasi yang menuntut adaptasi terhadap teknologi baru. Menurut laporan Gallup (2021), Baby Boomers memiliki tingkat keterlibatan kerja sebesar 52%, lebih tinggi dibandingkan beberapa generasi yang lebih muda. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka menghadapi tantangan teknologi, mereka tetap menjadi kontributor penting dalam berbagai sektor ekonomi.

Dengan demikian, meskipun stereotype "gagap teknologi" mungkin ada, hal itu tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan atau potensi mereka. Baby Boomers memiliki kapasitas untuk belajar dan beradaptasi dengan teknologi baru, terutama jika didukung dengan pelatihan yang tepat. Di sisi lain, pengalaman mereka yang mendalam dan kemampuan mereka dalam pemecahan masalah dapat menjadi aset berharga dalam dunia kerja yang semakin kompleks dan cepat berubah.

Gen Z dan "Gagap Interaksi"

Di sisi lain, Gen Z, yang lahir setelah tahun 1996, tumbuh dalam era teknologi digital yang sepenuhnya matang. Kehadiran smartphone, media sosial, dan internet tidak hanya menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka, tetapi juga membentuk cara berpikir, belajar, dan berkomunikasi mereka. Dengan akses mudah ke teknologi sejak usia dini, Gen Z sering kali disebut sebagai "digital native" yang memiliki kemampuan luar biasa dalam multitasking dan penggunaan teknologi. Sebuah studi oleh Pew Research Center (2021) menemukan bahwa lebih dari 95% Gen Z memiliki akses ke smartphone, dan hampir 70% menggunakan media sosial sebagai platform utama untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri.

Namun, meskipun mereka unggul dalam dunia digital, kemampuan interaksi sosial secara tatap muka sering kali menjadi tantangan bagi Gen Z. Ketergantungan pada media sosial untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri terkadang mengurangi peluang untuk mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal. Hal ini dikuatkan oleh laporan dari Common Sense Media (2022), yang menyatakan bahwa 54% dari Gen Z lebih nyaman berkomunikasi melalui teks atau media sosial daripada secara langsung. Keadaan ini sering kali menciptakan kesenjangan dalam kemampuan membangun hubungan yang autentik di dunia nyata.

Ironisnya, meskipun teknologi telah mempermudah komunikasi, banyak anggota Gen Z merasa terisolasi dan mengalami tekanan sosial yang berasal dari dunia maya. Sebuah laporan oleh American Psychological Association (2021) menunjukkan bahwa Gen Z memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, dengan 45% dari mereka merasa media sosial memberikan tekanan untuk "selalu tampil sempurna." Selain itu, World Health Organization (2020) melaporkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkontribusi pada meningkatnya perasaan kesepian, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

Kondisi ini melahirkan pandangan bahwa Gen Z "gagap interaksi" dalam konteks dunia nyata. Mereka sering kali merasa nyaman berkomunikasi melalui pesan teks, emoji, atau media sosial, tetapi menghadapi kesulitan saat harus menjalin koneksi yang mendalam secara langsung. Penelitian dari Journal of Adolescent Health (2022) mencatat bahwa 62% dari Gen Z mengaku merasa canggung atau tidak tahu harus berbicara apa ketika menghadapi percakapan tatap muka, terutama dalam lingkungan yang baru.

Meskipun demikian, bukan berarti keterampilan komunikasi tatap muka tidak dapat dikembangkan oleh Gen Z. Dengan meningkatnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan komunikasi interpersonal, banyak anggota Gen Z mulai mencari cara untuk meningkatkan keterampilan interaksi mereka. Program pelatihan komunikasi, kegiatan sosial tanpa perangkat digital, dan pembatasan penggunaan media sosial telah menjadi langkah yang diadopsi beberapa dari mereka untuk mengatasi tantangan ini.

Gen Z membawa kemampuan luar biasa dalam memanfaatkan teknologi untuk produktivitas dan kreativitas, tetapi mereka juga dihadapkan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan dunia digital dengan hubungan nyata. Dengan panduan dan dukungan yang tepat, generasi ini memiliki potensi besar untuk menjembatani kesenjangan antara dunia maya dan dunia nyata, menciptakan cara-cara baru untuk membangun koneksi yang autentik dan bermakna.

Mencari Titik Temu: Belajar Saling Melengkapi

Meskipun perbedaan antara Baby Boomers dan Gen Z tampak mencolok, sebenarnya kedua generasi ini memiliki peluang besar untuk saling belajar dan melengkapi. Baby Boomers, yang sering dianggap "gagap teknologi," dapat memanfaatkan keterampilan digital Gen Z untuk lebih memahami teknologi modern. Sebaliknya, Gen Z, yang kerap menghadapi tantangan dalam interaksi interpersonal, dapat belajar dari Baby Boomers tentang pentingnya komunikasi langsung yang efektif dan hubungan interpersonal yang mendalam.

Menurut laporan Deloitte (2021), keberagaman generasi dalam dunia kerja menunjukkan bahwa 76% organisasi multigenerasi merasakan manfaat dari pembelajaran lintas generasi, termasuk peningkatan efisiensi kerja dan hubungan antarindividu. Dalam konteks ini, Baby Boomers dan Gen Z memiliki keunggulan unik yang dapat saling mengisi kekosongan. Sebagai contoh, Gen Z yang mahir dalam penggunaan media sosial dan teknologi dapat membantu Baby Boomers mengadopsi alat-alat digital seperti platform kolaborasi daring, perangkat lunak manajemen proyek, atau bahkan media sosial untuk membangun kehadiran digital mereka. Sebaliknya, Baby Boomers dapat berbagi pengalaman mereka tentang etos kerja, strategi pemecahan masalah, dan komunikasi tatap muka yang bermakna.

Kunci dari kolaborasi ini adalah empati dan keterbukaan. Empati diperlukan agar kedua generasi dapat memahami latar belakang dan tantangan yang dihadapi masing-masing. Baby Boomers perlu mengakui bahwa teknologi bukanlah ancaman, melainkan alat yang dapat mempermudah pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Sebuah survei dari Pew Research Center (2022) mencatat bahwa 61% Baby Boomers yang mendapatkan dukungan dari generasi muda merasa lebih percaya diri menggunakan teknologi baru. Di sisi lain, Gen Z perlu menyadari bahwa interaksi langsung memiliki nilai yang tak tergantikan, terutama dalam membangun hubungan yang autentik dan kepercayaan dalam dunia profesional maupun pribadi.

Dialog yang saling menghargai menjadi fondasi penting untuk menciptakan sinergi antar generasi. Sebuah studi oleh Harvard Business Review (2020) menemukan bahwa program mentoring dua arah antara generasi yang lebih tua dan lebih muda meningkatkan produktivitas tim sebesar 25% dan menciptakan hubungan kerja yang lebih harmonis. Program-program seperti ini memungkinkan kedua generasi untuk berbagi pengetahuan mereka, menciptakan lingkungan kolaboratif di mana pengalaman dan inovasi dapat berjalan seiring.

Tidak hanya dalam dunia kerja, harmoni antar generasi juga dapat membawa manfaat dalam kehidupan sosial. Baby Boomers dapat mengajarkan Gen Z tentang pentingnya kesabaran, stabilitas, dan hubungan mendalam, sementara Gen Z dapat memperkenalkan cara-cara baru untuk tetap terhubung secara digital tanpa kehilangan esensi dari komunikasi. Misalnya, penelitian dari American Psychological Association (2021) menunjukkan bahwa pelatihan lintas generasi dalam keluarga atau komunitas meningkatkan rasa kebersamaan dan mengurangi stereotip negatif antar generasi.

Kolaborasi seperti ini tidak hanya akan menguntungkan individu, tetapi juga memperkuat masyarakat secara keseluruhan. Di tengah perubahan yang cepat di era modern, memadukan kekuatan dua generasi ini dapat menjadi kunci untuk menghadapi tantangan masa depan. Dengan memahami dan menghargai perbedaan, Baby Boomers dan Gen Z dapat menciptakan dunia yang lebih inklusif, di mana setiap individu dapat belajar dan berkembang bersama.

Kesimpulan

Perbedaan antara Baby Boomers dan Gen Z dalam hal teknologi dan cara berinteraksi mencerminkan dinamika perubahan zaman yang terus bergerak maju. Meskipun kedua generasi ini memiliki karakteristik yang tampak bertolak belakang, perbedaan tersebut seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan, melainkan sebagai peluang untuk saling melengkapi. Baby Boomers membawa pengalaman hidup, ketekunan, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang mendalam, sementara Gen Z menawarkan keterampilan digital, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang.

Kunci untuk menjembatani perbedaan ini adalah saling memahami, menghargai, dan bekerja sama. Dengan mengedepankan empati dan keterbukaan, kedua generasi ini dapat membangun sinergi yang menggabungkan kekuatan masing-masing, menciptakan kolaborasi yang bermanfaat di berbagai aspek kehidupan, mulai dari dunia kerja hingga kehidupan sosial.

Di era yang penuh tantangan dan perubahan ini, kombinasi antara pengalaman dan inovasi dapat menjadi aset yang sangat berharga untuk menghadapi masa depan. Hanya dengan menjalin harmoni di antara generasi, kita dapat menciptakan masyarakat yang inklusif, dinamis, dan siap menghadapi berbagai tantangan global. Perbedaan antar generasi bukanlah jurang pemisah, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih baik.

Sumber Rujukan

American Psychological Association. (2021). The impact of social media on mental health: A generational perspective. Retrieved from https://www.apa.org

AARP. (2020). Technology trends among Baby Boomers: Challenges and opportunities. Retrieved from https://www.aarp.org

Common Sense Media. (2022). Social media use among Gen Z: Impacts on communication and mental health. Retrieved from https://www.commonsensemedia.org

Deloitte. (2021). Workplace collaboration across generations: Harnessing multigenerational diversity. Retrieved from https://www2.deloitte.com

Gallup. (2021). Generational engagement in the workplace. Retrieved from https://www.gallup.com

Harvard Business Review. (2019). Mentoring across generations: Building synergy in the workplace. Retrieved from https://hbr.org

Harvard Business Review. (2020). Two-way mentoring: Bridging generational gaps for innovation. Retrieved from https://hbr.org

Pew Research Center. (2019). How different generations use technology. Retrieved from https://www.pewresearch.org

Pew Research Center. (2021). Baby Boomers and Gen Z: Generational comparisons in technology and communication. Retrieved from https://www.pewresearch.org

Statista. (2022). Social media use by generation in the United States. Retrieved from https://www.statista.com

World Economic Forum. (2022). Adapting to a multigenerational workforce in the digital era. Retrieved from https://www.weforum.org

World Health Organization. (2020). Digital technology and youth mental health: Challenges and recommendations. Retrieved from https://www.who.int

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun