Sementara itu, berita hoax atau informasi palsu yang tersebar melalui media sosial dirancang untuk memicu reaksi emosional atau membentuk persepsi tertentu terhadap isu sosial atau politik. Pew Research Center (2021) menc
atat bahwa 79% dari pengguna media sosial pernah terpapar informasi palsu, dan sekitar 50% mengaku sempat terpengaruh atau bahkan menyebarkan informasi tersebut. Hoax sering kali disusun dengan cara yang sengaja memicu kemarahan, simpati, atau ketakutan, sehingga tanpa disadari korban berkontribusi dalam penyebarannya, memperluas dampak dari manipulasi tersebut.
Social engineering di dunia digital juga menggunakan teknik "pretexting" atau penciptaan latar cerita yang tampak logis untuk mengelabui korban. Pretexting ini sering kali melibatkan narasi tertentu yang menyentuh nilai-nilai korban atau memanipulasi persepsi mereka.Â
Misalnya, kampanye hoax yang memanfaatkan isu-isu sosial seperti keamanan, kesehatan, atau isu politik dirancang untuk membangkitkan emosi tertentu agar korban merasa berkepentingan menyebarkan informasi tersebut tanpa melakukan verifikasi. Penelitian dari Cybersecurity Ventures (2023) menunjukkan bahwa orang cenderung 40% lebih mudah percaya pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sebelumnya, meskipun informasi tersebut tidak benar.
Dalam menghadapi social engineering digital, tantangan terbesar adalah mengenali taktik manipulatif ini sebelum kita terpengaruh. Pengetahuan tentang bagaimana hoax bekerja dan bagaimana teknik phishing atau pretexting diterapkan dapat meningkatkan kemampuan kita untuk mengenali informasi yang manipulatif. Menurut Microsoft's Digital Defense Report (2022), individu yang dilatih untuk mengenali pola-pola manipulasi sosial memiliki kemungkinan 50% lebih rendah untuk menjadi korban dibandingkan mereka yang tidak memiliki pemahaman serupa.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola dan teknik social engineering di dunia digital, kita dapat lebih kritis dalam menyikapi informasi yang kita terima. Penting untuk menahan diri dari reaksi emosional terhadap informasi yang belum jelas kebenarannya dan selalu melakukan verifikasi sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi. Kesadaran dan pengetahuan ini tidak hanya melindungi diri kita, tetapi juga mencegah penyebaran informasi palsu yang dapat merugikan banyak orang.
Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan antara Empati dan Kewaspadaan
Social engineering memanfaatkan kelemahan manusia yang alami, seperti empati, rasa sungkan, dan keinginan untuk menolong. Namun, penting untuk memahami bahwa kewaspadaan dan empati harus berjalan seimbang agar kita bisa membantu orang lain tanpa menjadi korban manipulasi. Sikap tegas dan kritis adalah perlindungan terbaik dalam menghadapi situasi mencurigakan, tanpa harus kehilangan sifat peduli terhadap sesama.
Data dari berbagai studi dan lembaga di atas menunjukkan bahwa social engineering bukan hanya ancaman bagi individu tetapi juga berdampak pada masyarakat luas. Dengan menyeimbangkan antara empati dan kewaspadaan, kita dapat melindungi diri tanpa harus menjadi paranoid, dan pada saat yang sama, kita tetap bisa berperan dalam membangun solidaritas dan kepercayaan dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
American Pschological Association. (2021). The Impact of Social Manipulation on Paranoia and Trust. APA Publications.