Menurut laporan dari Verizon (2023), pretexting adalah metode social engineering yang paling sering digunakan, terlibat dalam 60% insiden social engineering yang dilaporkan di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa cerita yang tampaknya tidak berbahaya namun menciptakan empati adalah senjata utama pelaku untuk memanfaatkan kelemahan psikologis korban.
Di bandara, permintaan pria untuk menitipkan koper berlebih adalah contoh lain dari manipulasi yang memanfaatkan "obligation bias," atau kecenderungan manusia untuk merasa berkewajiban membantu orang lain dalam situasi sulit. Penelitian oleh Cialdini (2001) mengungkapkan bahwa obligation bias dapat mendorong seseorang untuk setuju dalam situasi yang memanfaatkan rasa kasihan, bahkan jika terdapat risiko yang jelas. Dengan menolak, saya melindungi diri dari kemungkinan menghadapi risiko hukum yang tidak perlu.
Kelemahan Manusia dalam Social Engineering: Empati dan Keinginan untuk Menolong
Kelemahan manusia untuk menolong sesama menjadi alat manipulasi dalam social engineering karena sifat empati kita yang alami. Laporan dari Ponemon Institute (2023) menunjukkan bahwa 72% dari korban social engineering tertipu karena mereka merasa enggan untuk menolak permintaan tolong. Pelaku memanfaatkan empati korban dengan teknik komunikasi yang menekankan rasa bersalah atau sungkan.Â
Frasa seperti "Bapak tidak percaya pada saya?" atau "Ibu tega tidak membantu saya?" membuat korban merasa tidak nyaman jika menolak, sebuah teknik yang dikenal sebagai "emotional appeal." Teknik ini dirancang untuk menghilangkan kewaspadaan korban dan membuat mereka merasa harus memenuhi permintaan pelaku.
Dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion, Cialdini (2001) menjelaskan bahwa manusia cenderung merasa bersalah jika tidak menolong sesama, terutama ketika seseorang menggunakan bahasa yang merangsang perasaan tersebut. Teknik manipulatif ini mempermainkan emosi korban, dan ketika dilakukan berulang-ulang, hal ini dapat menyebabkan trauma atau perasaan was-was berlebihan.
Risiko Paranoid dan Kehilangan Empati: Efek Jangka Panjang Social Engineering
Pengalaman berulang kali menghadapi social engineering dapat menyebabkan paranoid atau rasa curiga berlebihan. Penelitian dari American Psychological Association (APA) pada 2021 menunjukkan bahwa individu yang sering kali menghadapi manipulasi berpotensi mengalami paranoid karena kecenderungan untuk melihat setiap interaksi sebagai ancaman.Â
Kondisi ini merugikan kehidupan sosial seseorang, karena mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap niat baik orang lain dan mulai menolak setiap bentuk interaksi, bahkan ketika niat tersebut tulus.
Sikap paranoid ini juga dapat memengaruhi cara seseorang membantu orang lain. Data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam survei tahun 2020 menunjukkan bahwa 64% responden yang pernah menjadi korban penipuan merasa takut dan enggan menolong orang asing.Â
Sikap paranoid yang muncul ini tidak hanya merusak hubungan sosial individu, tetapi juga dapat mengurangi solidaritas masyarakat karena orang-orang semakin enggan untuk terlibat dalam interaksi sosial positif.