Mohon tunggu...
Syahla Nabila
Syahla Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Implementasi Kebijakan Energi Nasional (KEN)

21 Mei 2024   21:23 Diperbarui: 21 Mei 2024   21:55 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: cleantechnica.com

Energi terbarukan (renewable energy) adalah energi yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui secara berkelanjutan, seperti air, cahaya matahari, dan angin. Penggunaan energi terbarukan menjadi upaya penting karena dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang tidak dapat diperbaharui. 

Selain itu, energi terbarukan juga lebih bersahabat dengan lingkungan karena memproduksi emisi gas rumah kaca yang relatif sedikit sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Pada era modern ini, kebutuhan akan energi terbarukan semakin mendesak, terutama dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif dari penggunaan energi fosil terhadap lingkungan.

Indonesia, sebagai negara yang memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, telah merespons tantangan ini dengan serius. Indonesia menyatakan komitmennya untuk mengurangi pelepasan gas-gas rumah kaca dengan melibatkan diri dalam perjanjian internasional, tepatnya Perjanjian Paris. 

Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia secara serius berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan signifikan hingga tahun 2030 dengan target pengurangan emisi sebesar 29% hingga 41% dari tingkat emisi yang ada. Untuk mencapai target yang telah dibuat, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah konkrit untuk mendukung transisi ini. Seperti yang diatur dalam PP No. 79 tahun 2014 tentang "Kebijakan Energi Nasional (KEN)," Pemerintah Indonesia memasang target ambisius bagi Indonesia untuk mengintegrasikan Energi Baru Terbarukan (EBT) kedalam bauran energi primer negara. 

Menurut ketentuan tersebut, Indonesia diharapkan mencapai target sebesar 23% pada tahun 2025, dan 31% pada tahun 2050. Langkah-langkah ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mempercepat peralihan energi menuju pemanfaatan EBT yang sejalan dengan komitmen global untuk mengurangi pelepasan gas-gas yang menyebabkan efek rumah kaca serta memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Namun, pertanyaan mengenai sejauh mana pencapaian yang dilakukan pemerintah dalam mencanangkan kebijakan tersebut muncul, apakah usaha-usaha yang telah dilakukan sudah sepadan dengan target ambisius yang mereka tetapkan?

Meskipun Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, pemanfaatannya masih dapat dikatakan rendah. Data dari Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional menunjukkan bahwa dari total potensi energi terbarukan Indonesia yang mencapai angka 3.643 GW, baru sekitar 0,3% atau 11,6 GW yang telah dimanfaatkan. 

Selain itu, data lain juga menunjukkan bahwa bauran energi baru terbarukan pada total energi primer Indonesia baru mencapai angka 14,11% yang jauh dari target 23% yang harus diraih pada tahun 2025. Tren bauran EBT cenderung fluktuatif bahkan stagnan dengan kenaikan hanya satu hingga dua poin selama 6 tahun terakhir. Jika kondisi ini berlanjut, sasaran pemerintah untuk mencapai 23% bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 mustahil untuk dicapai.

Akar masalah yang menyebabkan sulit tercapainya target yang telah ditetapkan tersebut dapat dilihat dari aspek kepemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling) pemerintah itu sendiri. Melansir dari buku Pengantar Manajemen Sektor Publik (Rahayu, 2023), dapat dikatakan bahwa pengawasan dan perencanaan ibarat dua sisi pada mata koin yang sama. Oleh karena itu, dalam konteks ini, penyusunan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang cenderung bersifat top-down menimbulkan kendala dalam merangkul partisipasi masyarakat secara luas sehingga menyebabkan masalah dalam fungsi pengawasan. 

Kebijakan Energi Nasional sebagai instrumen kebijakan publik seharusnya menjadi cermin aspirasi masyarakat secara menyeluruh. Namun, dalam praktiknya, kurangnya ruang bagi partisipasi publik telah menciptakan ketidakseimbangan yang signifikan karena masukan dari publik seringkali terbatas oleh proses pembuatan kebijakan yang kurang inklusif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun