Dalam keyakinan umat Islam, kesucian bulan Ramadan ditunjukkan oleh memudarnya simbol keburukan dan kejahatan yang diatribusikan kepada setan. Puasa yang dijalankan oleh umat Muslim selama Ramadan, membuat setan-setan "terbelenggu" ditengah kesibukan mereka akibat sulitnya memalingkan ketaatan orang-orang yang berpuasa.Â
Dalam keadaan lapar dan haus ketika berpuasa, justru seseorang cenderung terhindar dari aktivitas keburukan dan kejahatan. Bagaimana tidak, dorongan hawa nafsu yang cenderung merugikan biasanya muncul disaat orang itu kenyang bukan dalam keadaan lapar.Â
Itulah sebabnya, dalam salah satu hadis yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, menyebutkan bahwa "Ramadan menjadikan setan-setan terbelenggu (sulsilat al-syayathin)". Karena umumnya potensi dan kecenderungan berbuat buruk dalam diri manusia berasal dari "personifikasi setan" yang menguat ketika kenyang dan melemah saat mereka lapar.Â
Dengan demikian, setan yang dimaksud merupakan bentuk personifikasi yang memberi pengaruh buruk kepada manusia, mengalir bersama darah dan hidup dalam setiap denyut nadi manusia. Dalam realitas seperti ini, bisa saja setan itu "terlepas dari belenggunya" karena nafsu yang tak terkontrol dan tidak bisa dikendalikan dalam diri seseorang.Â
Ketika seseorang lebih memilih nafsunya untuk diikuti, maka nafsu jelas menguasai dirinya sehingga mungkin saja sekalipun dalam keadaan berpuasa dapat melakukan hal-hal buruk dan mungkin lebih buruk.
Fenomena diatas dapat ditemukan dalam kasus aksi mahasiswa yang dilakukan pada saat berpuasa ketika menolak wacana presiden 3 periode pada 11 April lalu. Aksi yang pada awalnya menyuarakan tuntutan-tuntutan untuk kebaikan bersama, justru meninggalkan kesan yang tidak baik.Â
Pasalnya, seorang dosen dan juga aktivis, Ade Armando justru kedapatan babak-belur dihajar massa yang ditengarai berasal dari aksi demo mahasiswa. Bagaimanapun, agak sulit jika peristiwa ini tidak dipicu oleh luapan emosi yang tak terkontrol dari oknum yang melakukan pengeroyokan.Â
Puasa, tidak serta merta "membelenggu setan", sebab ia sendiri sesungguhnya yang membiarkan setan itu bermetamorfosis dalam dirinya. Terlebih jika tidak berpuasa, emosi yang tak dapat dikontrol semakin liar dan mungkin bisa lebih berapi-api dan merusak. Aksi pengeroyokan ini tentu saja sangat disesalkan dan mencoreng suatu aksi atas nama elit sosial yang mengedepankan cita rasa intelektual.
 Seburuk apapun sikap seseorang dan sebenci apapun kita terhadap seseorang, cara-cara yang lebih bermartabat tetap harus dikedepankan. Dalam ajaran Islam, puasa tidak saja mengajarkan kesabaran, tetapi bagaimana nilai-nilai kasih sayang justru menebar dari mereka yang berpuasa.Â
Nilai-nilai kasih sayang terbentuk melalui kesadaran-diri (self evidence) melalui peneladanan puasa, seperti lapar dan dahaga yang dirasakan, kepekaan sosial melalui praktik filantropi, dan juga kebersamaan yang dirasakan disaat berbuka.Â
Menariknya, Nabi Muhammad pernah menegaskan bahwa "kasih sayang itu bukan karena anda bagian dari kelompok atau keluarganya, tetapi kasih sayang merupakan kasih sayang kepada sesama manusia" (innama ar-rahmah an yarhama an-naas).