Jika puasa mampu meneladani sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka puasa dapat membentuk pribadi-pribadi yang lapang dada dan toleran (tasamuh) sebagaimana yang senantiasa digelorakan di ruang-ruang sakral di malam-malam Ramadan setelah selesai melaksanakan solat Taraweh.
 Kegiatan "kultum" yang kerap digelar di musola atau masjid-masjid, kerap memberikan nasehat-nasehat yang baik agar mereka yang berpuasa dapat menundukkan amarah dan nafsu seraya menonjolkan sikap toleransi dan kasih sayang.Â
Saya kira, selama nilai-nilai puasa terserap kedalam batin dan setiap yang berpuasa menyadari bahwa puasa bukan sebatas menahan lapar dan dahaga, tetapi justru menahan seluruh apapun yang dapat membatalkan puasa--termasuk diantaranya marah atau berbicara kasar dan buruk--maka tak akan pernah terjadi kekerasan fisik, terlebih kata-kata kotor yang menyakitkan dan merusak.Â
Dalam banyak hal, manusia merupakan "personifikasi" dari setan itu sendiri, sehingga dorongan dan kecenderungan untuk berbuat buruk tetap potensial seiring dengan kecenderungan mereka berbuat baik.Â
Puasa tentu saja belajar bagaimana potensi keburukan kita ditekan semaksimal mungkin dan potensi kebaikan justru dimunculkan sebanyak mungkin, sebab tujuan dari puasa yang sesungguhnya adalah pribadi-pribadi yang bertakwa dan takwa merupakan posisi yang tertinggi dari derajat kemanusiaan dan Tuhan tidak memandang siapapun kecuali hanya ketakwaan yang menguasai dirinya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H