Setidaknya, otoritas politik di Indonesia telah memberlakukan aturan karantina wilayah dengan merujuk pada aturan Kementrian Kesehatan yang diikuti kemudian oleh PSBB di semua wilayah di Indonesia.
Namun lagi-lagi, bahwa fatwa keagamaan sebagaimana yang dikeluarkan MUI, tampaknya tidak lagi menjadi jaminan  atas kebolehan aktivitas sosial-keagamaan bagi masyarakat Muslim, sebab yang berlaku pada akhirnya tetap otoritas politik pemerintahan dalam hal mengatur, membatasi, bahkan melarang segala aktivitas sosial-keagamaan.
Menarik ketika saya mencermati Fatwa MUI No. 14 tahun 2020 tentang "Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Wabah Covid-19" yang mengatur dan membatasi ibadah umat Muslim di tengah wabah pandemik. Argumentasi fatwa MUI ini, tentu saja telah memenuhi suatu proses penggalian sumber-sumber hukum Islam yang dapat dijadikan suatu landasan hukum, dimana tidak disebutkan adanya penutupan masjid atau larangan solat Jumat atau berjamaah berdasarkan pertimbangan kondisi tertentu.
Dalam ketentuan hukumnya, terutama dalam diktum nomor 3 poin b Fatwa MUI Â menyebutkan, "Dalam hal ia berada dalam satu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar covid-19...".
Diktum ini memuat penjelasan substansi hukum yang di fatwakan dari dalil-dalil hukum (adillatu al-ahkam) yang menjadi dasar pertimbangan otoritatif terutama soal ibadah di masa pandemik.
Bagi umat Muslim di Indonesia, sudah seharusnya tidak ada lagi perdebatan soal bagaimana seharusnya beribadah di masa pandemik ini, karena sejatinya dengan mengacu kepada Fatwa MUI, setiap Muslim dapat menjadikannya rujukan otoritatif sehingga tidak lagi terjadi kebimbangan, keragu-raguan, atau kecemasan dalam praktik pelaksanaan ibadah.
Jikapun terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat, mestinya dipandang sebagai hal yang wajar, selama satu sama lain tetap saling menghormati dan bukan dalam rangka memperebutkan suatu klaim kebenaran. Walaupun kenyataannya, banyak cerita yang beredar mengenai betapa ritual ibadah berjamaah di masjid justru menjadi hal yang seringkali menakutkan.
Banyak di antara masjid yang berada dalam wilayah potensi penularannya rendah (zona hijau), justru melakukan ibadahnya secara sembunyi-sembunyi dengan mematikan lampu di malam hari atau mematikan pengeras suara ketika berlangsungnya ibadah.
Ini merupakan fenomena baru ibadah di tengah wabah, yang tidak saja memberikan rasa kekhawatiran tetapi juga ketakutan mereka terhadap konsekuensi hukum terkait "pelanggaran" ibadah di tengah wabah.
Ibadah pada akhirnya menjadi kontraproduktif, karena seolah bertentangan dengan kebijakan otoritas politik. Minimnya akurasi data covid-19 yang dipublikasikan pemerintah, bahkan hampir tidak pernah dilakukan kategorisasi wilayah secara tepat, mana zona merah, kuning, atau hijau dalam suatu wilayah. Kebanyakan yang tampak sebagai realitas bentuk "pukul rata" terhadap semua wilayah, terutama setelah aturan PSBB diberlakukan di berbagai wilayah tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H