Perihal ancaman penyakit menular yang diakibatkan covid-19 atau virus corona selalu menjadi tren perbincangan masyarakat dunia. Tidak saja soal bagaimana protokol kesehatan yang harus dijalani untuk mencegah masifnya pandemik ini, namun persoalan-persoalan lain sepertinya terus mengintai terutama apa yang akan terjadi pasca pandemik nanti.
Tidak hanya itu, bulan Ramadan yang kebetulan harus dilalui bersamaan dengan masa pandemik, membuat umat Muslim di seluruh dunia harus membatasi diri atau bahkan meniadakan segala kegiatan sosial-keagamaan atau ibadah komunal yang terkonsentrasi di majelis-majelis atau masjid-masjid.
Banyak persoalan muncul kemudian---terutama terkait dengan bagaimana perspektif medis dihadapkan dengan kenyataan sosial-keagamaan---dalam menghadapi wabah yang mungkin saja tampak saling kontradiktif.
Pandangan medis tentu saja umumnya mendahului berdasarkan pertimbangan rasional dan kesehatan, sedangkan respon agama cenderung disibukkan oleh penafsiran atas berbagai teks keagamaan, baik yang berasal dari Kitab Suci atau teks-teks otoritatif lainnya.
Dalam sejarah Islam, perbedaan sikap dalam menghadapi situasi wabah dapat ditemukan dalam berbagai literatur hadis, terutama cerita tentang Umar bin Khatab yang urung berkunjung karena wilayah yang akan didatangi sedang dilanda wabah. Imam al-Ghazali dalam "Ihya Ulumuddin" menjelaskan, bahwa Umar setelah sampai di al-Jabiyyah---sebuah wilayah dekat Damaskus---ketika hendak menuju Syam mendapat kabar bahwa Syam sedang dilanda wabah penyakit mematikan.
Kabar ini telah memunculkan dua kelompok besar yang saling bertentangan: mereka yang berkeyakinan harus menghindar dari kebinasaan, memaksa yang lain harus kembali, sedangkan yang lainnya keukeuh melanjutkan perjalanan dengan lagi-lagi berkeyakinan tidak boleh lari dari takdir Tuhan, kecuali dengan kesabaran dan tawakal.
Lalu, bagaimana dengan Umar? Tampak disini sang Khalifah lebih moderat: ia tidak meneruskan perjalanan dengan alasan dirinya menghindar dari suatu takdir untuk menuju ke takdir Tuhan lainnya yang lebih baik.
Cerita ini paling tidak, telah memberi gambaran yang cukup relevan dalam melihat dua perbedaan pendapat diantara masyarakat Muslim, terutama dalam menyikapi kondisi wabah covid-19 yang saat ini tengah melanda dunia.
Perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Muslim tetap mewarnai perjalanan panjang pandemik ini yang hampir sulit ditemukan demarkasinya: sampai sebatas apa disebut wabah ini berakhir?Â
Sementara wilayah yang diduga penyebar wabah pertama kalinya saat ini mungkin telah menyatakan dirinya bebas dari pandemik tersebut. Melihat berbagai literatur yang ditulis para sarjana Muslim---salah satu yang cukup baik ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqallani: "Badzlu al-Ma'un fi Fadhl at-Tha'un"---hampir dipastikan wabah terkait dengan hal-hal yang fisik dan metafisik, sehingga wabah terkait dengan azab Tuhan atas suatu kaum atau penyakit menular tertentu yang secara fisik tampak dan seiring berjalannya waktu, berakhir dengan sendirinya. Itulah alasannya, dimana sebuah hadis riwayat Muslim menyebutkan, Nabi menyatakan, "Jangan kalian memasuki wilayah yang terkena wabah, tetapi jika kebetulan kalian berada di dalamnya, janganlah kalian lari meninggalkan wilayah tersebut".
Boleh jadi hadis diatas disimpulkan atau dijadikan suatu argumentasi "pembenaran" atas kondisi "jangan menuju zona merah wabah, tetaplah tinggal di rumah". Sekilas anggapan ini tampak benar, walaupun pada kenyataannya apa yang dikategorikan sebagai zona merah, hijau, atau kuning tampak absurd dan cenderung dipandang sama oleh banyak pihak.