Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Kerajaan, Otoritas, dan Tradisi

29 Januari 2020   10:10 Diperbarui: 29 Januari 2020   10:28 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perspektif kebanyakan orang terhadap munculnya fenomena kerajaan di Indonesia tentu saja berangkat dari prasangka "merendahkan" atau bahkan negatif, dimana kemunculan "empire" kuno ini jelas mengada-ada atau perbuatan "orang gila" yang daya khayalnya jauh melampaui kita yang hidup ditengah arus modernitas. Kita tentu saja sulit menerima kerajaan yang mengusung kembali suatu dinasti politik ditengah jebakan modernitas yang selama ini mengungkung pemikiran dan kebiasaan kita.

Padahal, negeri kita sebelum ini adalah kerajaan dengan raja-raja besar yang memiliki otoritas dan secara "legitimated" diakui bahkan dihormati oleh masyarakatnya. Para raja jelas mereka yang setia mempertahankan tradisi, sebagai warisan sejarah sekaligus filsafat kehidupan yang sedemikian melekat menjadi "nilai" yang dipedomani masyarakat.

Persoalannya, apakah sejauh ini masih ada kerajaan yang erat memegang tradisi? Atau para rajanya memiliki otoritas yang sedemikian dibanggakan dan dihormati?

Saya beranggapan bahwa fenomena munculnya kerajaan-kerajaan belakangan ini, bukan sekadar upaya sedikit orang yang ingin mengembalikan "otoritas" dan "tradisi", namun lebih jauh justru mencoba mengangkat kesadaran masyarakat yang sejauh ini melupakan bahkan jauh meninggalkan warisan otoritas yang dulu pernah sedemikian dipandang sebagai suatu "kebenaran" dan disisi lain, banyak tradisi yang dulu begitu mengakar justru tercerabut dari nilai-nilai kehidupan masyarakat masa kini.

Akibat modernitas yang mendewakan nalar dan realitas ilmiah, kitapun semakin jauh dari nilai-nilai religiusitas yang selama berabad-abad menjadi ciri yang paling kuat dalam sejarah masyarakat Nusantara.

Justru saya menilai, bahwa para raja-raja baru yang muncul dengan segala "otoritas" yang dimilikinya tidak sedang bermain-main dengan mitologi, tetapi justru berupaya "mendemitologisasi" modernitas yang selama berabad-abad dianut oleh masyarakat.

Alam modern tentu saja telah banyak menjauhkan kita dari tradisi dan nilai-nilai sosial-religius, merubahnya kedalam bentuk simbolisme sempit bersifat materialistik dan ukuran-ukuran rasionalisme buta, mengukur segala sesuatu berdasarkan realitas empirisme bahkan pragmatisme. Kita tak perlu lagi mementingkan "nilai", namun bagaimana kebutuhan hidup kita terpenuhi bahkan segala keinginan-keinginan materialistik kita terwujudkan secara nyata.

Otoritas kita adalah dunia material yang justru seringkali memunculkan fenomena simbolik sekalipun kadang tak masuk akal. Kita bahkan tak akan peduli lagi dengan urusan orang lain, sebab yang menjadi ukuran adalah aspek individualisme kita yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Itulah sebabnya, agama-pun hanya sebatas alat justifikasi moral bukan dianggap sebagai pedoman hidup dimana nilai-nilainya meresap bersama sejarah yang bergerak bersama kehidupan kita.

Modernitas, seolah mengeluarkan kita dari sejarah, sehingga wajar jika persoalan-persoalan sepele lalu tiba-tiba menjadi besar dan kontroversial. Karena gerak kita diluar sejarah, maka yang tampak terjadi adalah cara pandang kita terhadap sumber-sumber kebenaran cenderung dogmatis, kaku, ideologis, bahkan subjektif.

Kebenaran seolah lepas dari gerak sejarah dan tradisi dianggap oleh kita sesuatu yang asing, berasal dari masa silam, mitos, tak masuk akal, dan kita senantiasa mengambil jarak yang sangat jauh dengan masa silam.

Padahal---menurut Gadamer---"tradisi selalu merupakan bagian dari kita, sebuah model atau eksemplar, suatu pengakuan diri kita sendiri yang penilaian historis kita nanti hampir tidak dapat melihatnya sebagai macam pengetahuan, melainkan sebagai sebuah ikatan yang paling tulus dengan tradisi". Kemunculan fenomena kerajaan yang tak diterima, atau dianggap remeh oleh kita, karena kita memang terlampau mengambil jarak yang jauh dengan sejarah dan tradisi.

Saya tentu saja tidak sedang berapologi melakukan pembelaan atas menjamurnya fenomena "otoritas kuno" yang menjadi "fakta sosial" ditengah cengkraman kuat arus modernitas dalam seluruh sisi kehidupan kita. Kita yang dikepung oleh arus modernitas, hampir-hampir tak lagi berada dalam ruang gerak sejarah, tetapi justru berada di bagian "terluar" darinya.

Kita hampir saja mengabaikan bahwa relativisme kebenaran adalah keniscayaan, dimana kemunculan kembali otoritas yang diusung oleh para raja, entah sekadar mengakui atau memang mengandung kebenaran yang tak pernah kita tahu, belum tentu juga sebuah "penyimpangan" dalam suatu alam modernitas.

Saya justru menganggap, mungkin saja bahwa keberadaan mereka sekaligus mengingatkan kita kembali kepada masa silam, bahwa kita terlampau mengagungkan rasionalitas yang cenderung materialistik-pragmatis, seraya membuang dan mencampakkan nilai-nilai etika-moral kebersamaan, religiusitas, otoritas dan tradisi yang sempat menjadikan kita bangsa yang beradab, adil dan makmur.

Banyak sekali yang hilang dari diri kita tanpa kita sadari sepenuhnya, akibat cara pandang positivistik yang serba empiris, sehingga mendorong aktivitas nalar dan kebebasan terlampau besar. Kebenaran selalu saja ukurannya nalar dan kebebasan, melepaskan diri kita dari eksistensi sebuah otoritas dan tradisi yang selama sekian abad membentuk realitas nilai yang berkembang dalam gerak sejarah kehidupan masyarakat Nusantara.

Prasangka-prasangka manusia modern justru berdasar presuposisi dogmatis mereka yang terbentuk oleh alam pikiran mereka yang melepaskan diri dari sejarah, mereka sedang membangun tradisi dan otoritas mereka sendiri dengan mengambil jarak dari realitas masa lalu.

Sekalipun bahwa fenomena munculnya kerajaan-kerajaan "baru" belakangan ini mungkin sulit dijelaskan nalar, namun cukup memberikan efek kejut bagi kesadaran kita secara kognitif, bahwa kita telah terputus dari rangkaian sejarah masa silam yang memandang kebenaran (juga) berdasarkan pertimbangan otoritas dan tradisi.

Interpretasi kita melalui prasangka nalar yang rasional terhadap fenomena kerajaan-kerajaan baru di Nusantara tentu saja "subjektif" dan kita masih belum dapat membuat "objektifitasi" atas fenomena yang ada secara tepat dengan membersihkan terlebih dahulu berbagai komponen kognitif yang dibentuk oleh aspek modernitas sejauh ini. 

Prasangka dan otoritas memang tidak dapat sama sekali dibersihkan, hanya saja pemahaman atas sebuah fenomena ketika kita mampu membedakan antara prasangka yang "legitimated" dan yang "illegitimated", memungkinkan melahirkan cara pandang yang objektif atas fenomena banyak hal, termasuk munculnya berbagai kerajaan baru di Nusantara.

Disisi lain, fenomena ini menyadarkan kita---sekaligus juga otokritik---bahwa bangsa ini telah jauh meninggalkan tradisi, mencampakkan otoritas yang hadir dalam diri seseorang yang diakui oleh publik, baik ulama, kiai, raja, tokoh masyarakat, dan sejenisnya. Kita terlampau individualis, tak peduli lagi dengan kebersamaan, lebih memilih konfrontasi daripada bersama-sama membangun negeri yang dulu pernah harum namanya dengan kekuatan Majapahit dan Sriwijaya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun