Saya tentu saja tidak sedang berapologi melakukan pembelaan atas menjamurnya fenomena "otoritas kuno" yang menjadi "fakta sosial" ditengah cengkraman kuat arus modernitas dalam seluruh sisi kehidupan kita. Kita yang dikepung oleh arus modernitas, hampir-hampir tak lagi berada dalam ruang gerak sejarah, tetapi justru berada di bagian "terluar" darinya.
Kita hampir saja mengabaikan bahwa relativisme kebenaran adalah keniscayaan, dimana kemunculan kembali otoritas yang diusung oleh para raja, entah sekadar mengakui atau memang mengandung kebenaran yang tak pernah kita tahu, belum tentu juga sebuah "penyimpangan" dalam suatu alam modernitas.
Saya justru menganggap, mungkin saja bahwa keberadaan mereka sekaligus mengingatkan kita kembali kepada masa silam, bahwa kita terlampau mengagungkan rasionalitas yang cenderung materialistik-pragmatis, seraya membuang dan mencampakkan nilai-nilai etika-moral kebersamaan, religiusitas, otoritas dan tradisi yang sempat menjadikan kita bangsa yang beradab, adil dan makmur.
Banyak sekali yang hilang dari diri kita tanpa kita sadari sepenuhnya, akibat cara pandang positivistik yang serba empiris, sehingga mendorong aktivitas nalar dan kebebasan terlampau besar. Kebenaran selalu saja ukurannya nalar dan kebebasan, melepaskan diri kita dari eksistensi sebuah otoritas dan tradisi yang selama sekian abad membentuk realitas nilai yang berkembang dalam gerak sejarah kehidupan masyarakat Nusantara.
Prasangka-prasangka manusia modern justru berdasar presuposisi dogmatis mereka yang terbentuk oleh alam pikiran mereka yang melepaskan diri dari sejarah, mereka sedang membangun tradisi dan otoritas mereka sendiri dengan mengambil jarak dari realitas masa lalu.
Sekalipun bahwa fenomena munculnya kerajaan-kerajaan "baru" belakangan ini mungkin sulit dijelaskan nalar, namun cukup memberikan efek kejut bagi kesadaran kita secara kognitif, bahwa kita telah terputus dari rangkaian sejarah masa silam yang memandang kebenaran (juga) berdasarkan pertimbangan otoritas dan tradisi.
Interpretasi kita melalui prasangka nalar yang rasional terhadap fenomena kerajaan-kerajaan baru di Nusantara tentu saja "subjektif" dan kita masih belum dapat membuat "objektifitasi" atas fenomena yang ada secara tepat dengan membersihkan terlebih dahulu berbagai komponen kognitif yang dibentuk oleh aspek modernitas sejauh ini.Â
Prasangka dan otoritas memang tidak dapat sama sekali dibersihkan, hanya saja pemahaman atas sebuah fenomena ketika kita mampu membedakan antara prasangka yang "legitimated" dan yang "illegitimated", memungkinkan melahirkan cara pandang yang objektif atas fenomena banyak hal, termasuk munculnya berbagai kerajaan baru di Nusantara.
Disisi lain, fenomena ini menyadarkan kita---sekaligus juga otokritik---bahwa bangsa ini telah jauh meninggalkan tradisi, mencampakkan otoritas yang hadir dalam diri seseorang yang diakui oleh publik, baik ulama, kiai, raja, tokoh masyarakat, dan sejenisnya. Kita terlampau individualis, tak peduli lagi dengan kebersamaan, lebih memilih konfrontasi daripada bersama-sama membangun negeri yang dulu pernah harum namanya dengan kekuatan Majapahit dan Sriwijaya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H