Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korupsi, Corona, dan Agama

28 Januari 2020   13:01 Diperbarui: 30 Januari 2020   09:25 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memahami berbagai isu belakangan ini, tentu saja tak semudah bagaimana kita menyimpulkan bahwa mendung adalah pertanda hujan akan segera turun.

Informasi yang sampai kepada kita, baik secara verbal maupun tekstual, butuh pemahaman mendalam (verstehen) sehingga kita tak begitu saja membuat kesimpulan-kesimpulan yang mungkin saja salah. 

Namun kebanyakannya, respons atas isu-isu tertentu, entah sosial, politik, atau agama, seringkali tampak berwarna "ideologis" dan hampir selalu ditafsirkan berdasarkan pemahaman "dogmatis".

Seringkali beberapa pihak tidak pada upaya memahami respons atas sebuah "realitas" secara objektif dengan tanpa didahului oleh prasangka-prasangka berdasarkan mentalitas subjektif yang telah terbentuk sedemikian rupa, sehingga realitas tampak kabur, bercampur dengan justifikasi tertentu yang hampir-hampir tak memiliki makna.

Korupsi lebih dipahami sebagai bentuk "balas dendam" politik atau "disparitas kepentingan", tak jauh berbeda dengan isu virus korona yang kurang lebih sama, bahkan ditambah dengan bumbu-bumbu agama.

Ketika isu korupsi yang menjerat para pemangku kepentingan, terlebih erat kaitannya dengan fenomena politik hegemoni, maka praktik korupsi sebagai "misuse of power" seolah bergeser menjadi realitas politik yang sempit: prasangka-prasangka liar rivalitas bergulir sebagai arena perebutan kepentingan antara penolakan dan dukungan terhadap satu kekuatan politik, bahkan lebih jauh sampai pada tahap persepsi dimana negara telah ikut campur dan terlibat terlalu dalam ketika berbagai kasus korupsi melibatkan pihak penyokong kekuasaan. 

Kasus OTT yang melibatkan salah satu oknum pimpinan KPU jelas dapat dipahami sebagai bagian dari "fakta politik" yang memungkinkan adanya unsur keberpihakan KPU terhadap pihak-pihak tertentu dalam kontestasi politik. Sekalipun di sisi lain, realitas ini benar-benar bentuk "keserakahan" kekuasaan dan penyimpangan nyata dalam konteks politik terutama pada mereka yang berkuasa dan memiliki akses yang terlampau luas kepada sumber-sumber kekuasaan.

Dalam konteks ini, kita justru tidak sedang melawan praktik penyimpangan kekuasaan, namun lebih kepada ketidakpuasan atas hegemoni politik yang dijalankan pihak-pihak menang. Jika persepsi ini yang terus dimunculkan, maka di setiap terjadi penyimpangan politik seperti korupsi, ketidakpuasan hegemonik akan mendominasi sehingga praktik korupsi sebagai bentuk "penyimpangan" dalam kekuasaan justru dianggap wajar sebagai konsekuensi dari aktivitas politik itu sendiri. 

Itulah sebabnya, kenyataan OTT lebih bermakna "politis" dibandingkan upaya-upaya preventif dan edukatif memberikan kesadaran kepada para penguasa yang menyimpang. Saya sendiri beranggapan, OTT yang tidak diatur dalam UU korupsi---kecuali kewenangan penyadapan---sekalipun tidak lagi diatur dalam revisi UU KPK, tidak terlalu berdampak signifikan terhadap penyelesaian, pengurangan, atau memberikan jera terhadap para koruptor. 

Praktik korupsi, tetap saja menyisakan persepsi politis, tanpa mengurangi sedikitpun praktik "penyimpangan kekuasaan" yang telah mengakar dalam suatu sistem politik dimanapun sebab "kekuasaan cenderung menyimpang" (power tends to corrupt).

Memberikan kesadaran akan suatu "penyimpangan" dalam kekuasaan terhadap mereka yang "berkuasa" tentu saja teramat sulit, sebab lingkaran kekuasaan tak ubahnya "circulus vitiosus" (lingkaran setan) karena begitu sangat tertutupnya dan hampir-hampir tak bermakna apapun, kecuali bagaimana kepentingan-kepentingan pribadi terpenuhi dan bagaimana gerak pemahaman bolak-balik antara penguasa dan sumber-sumber kekuasaan dapat memberikan sama-sama keuntungan dan menjauh dari segala hal yang merugikan dan mengganggu kedudukan status quo-nya dalam suatu lingkaran politik kekuasaan. 

Sebuah pertanyaan penting, selalu muncul dalam benak kita, "mungkinkah agama sebagai wujud penguatan moral dan etika mendorong kesadaran bagi para penguasa untuk berhenti korupsi?"

Memang, tidak semua orang dalam sistem kekuasaan ikut menikmati mudahnya berbagai akses terhadap kekuasaan yang disimpangkan, namun, paling tidak persepsi masyarakat terhadap penguasa korup dan praktik penyimpangan kekuasaan yang begitu terbuka, menunjukkan betapa korupsi sebagai "penyimpangan" kekuasaan dan bentuk "lingkaran setan" seolah membenarkan realitasnya. 

Agama sebagai "sumber moral" juga tampak tak begitu berpengaruh dalam memberikan kesadaran etik kepada para pemegang kekuasaan untuk lebih memihak kepada "kebenaran" bukan kepada "kepentingan". Saya kira, Islam sebagai suatu ajaran moral---dimana nilai dan ajarannya dipegang teguh orang mayoritas muslim di Indonesia---telah menunjukkan pesan yang sangat kuat terhadap anti-korupsi. 

Lauren Cockroft, menulis dalam salah satu risalahnya bahwa syariat Islam yang terbentuk melalui jalinan nilai dan tradisi sosial sangat memperhatikan aspek kepemimpinan sosial (governance society) dimana nilai-nilai moral filosofisnya sangat tampak jelas menyuarakan pesan-pesan anti-korupsi. 

Nabi Muhammad jelas-jelas memberikan perlawanan terbuka terhadap  "riba", sebuah praktik lazim masyarakat Mekah yang memperoleh harta dengan jalan batil dan menyimpang. Pesan kuat anti-korupsi dalam agama ini, seolah hanya menjadi realitas semu, tidak menjadi pemahaman dogmatis yang semestinya tertanam dalam benak para koruptor yang beragama.

Merebaknya isu korupsi yang begitu fenomenal, tak kalah fenomenalnya dengan isu virus korona yang belakangan hampir menggeser isu-isu lokal lainnya. Berbagai persepsi masyarakat ikut menyumbang semakin panasnya isu global ini, ditengah hujan deras dan banjir yang melanda sebagian wilayah Nusantara akhir-akhir ini. 

Virus mematikan yang disinyalir berasal dari Negeri Tirai Bambu dengan cepat menyebar, bahkan lebih cepat melebihi persepsi yang diterima masyarakat di media sosial. Uniknya, ada yang membaca dari pemahaman agama, di mana virus yang berasal dari "sate kalong" ini adalah murka Tuhan atas kekuasaan politik di Cina yang secara nyata melakukan praktik intoleransi "menyakitkan" terhadap etnis Muslim Uighur dengan berbagai tekanan politik. 

Persepsi ini kurang lebih diberikan oleh mereka yang belum mampu keluar dari mitologi kisah-kisah azab masa lalu yang dipahami dari ajaran yang berasal dari dogmatisme agamanya. Padahal, demitologisasi penting untuk menjelaskan, bahwa Tuhan memiliki sifat Maha Kasih dan Sayang terhadap umat manusia seluruhnya, sedangkan kisah-kisah kehancuran umat masa lalu yang disebut dalam Kitab Suci, tentu saja merupakan pelajaran (ibrah) yang sangat penting untuk mendorong kesadaran setiap manusia untuk tidak melakukan "penyimpangan" dalam berbagai hal.

Saya kira, berbagai isu global dan lokal, terasa bercampur aduk tanpa dipahami secara baik dan menyeluruh, kecuali sedikit informasi yang kita peroleh dari "running text" atau ungkapan-ungkapan non-verbal di media sosial yang secara massif membanjiri perspektif kita sehari-hari. 

Agama, belum dapat menjadi jawaban atas kesadaran moral-etik, karena kebanyakan tentu saja memanfaatkan agama sebagai "justifikasi" moral dan etika, bahkan seringkali membenarkan aspek-aspek politik tertentu atas dasar "kedekatan dogmatis", bukan atas dasar rasa persamaan kemanusiaan. 

Lebih jauh lagi, persepsi seringkali dibangun berdasarkan pemahaman dogmatis-teologis, sehingga memahami tidak melalui interpretasi atas wacana secara objektif, tetapi atas dasar pertimbangan kebenaran ilmiah dan realitas "agama" yang mengangkat nilai-nilai kebaikan manusia bukan sebaliknya. 

Namun, itulah realitas kita, di mana isu korupsi, korona, dan agama, terkadang tidak menempati posisinya, tetapi bercampur baur dalam perspektif berbau politis dan dogmatis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun