Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Guyon dan Seni Mengelola Agama

7 Januari 2020   12:41 Diperbarui: 8 Januari 2020   04:42 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak senang guyon? Bahkan aktivitas psikologis yang dapat melegakan kekalutan sekaligus kekhawatiran tentu saja dapat dilakukan melalui guyon, bercanda, atau bahkan tertawa-tawa. 

Salah satu kebiasaan para ulama zaman dulu untuk menghindari fitnah atau tuduhan yang belum jelas seringkali dibungkus dengan guyon.

Bukan tidak mungkin bahwa mereka (para ulama) juga memaknai guyon sebagai seni mengelola agama dan upaya alternatif dalam mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. 

Para tokoh sufi merupakan pribadi-pribadi yang senang guyon, sebut saja tokoh "figuratif-imitatif" kesohor Abu Nawas, merupakan salah satu diantara orang yang mampu mengelola agama sebagai seni dalam bentuk guyonan.

Jika kita membaca buku "1001 Malam" barangkali akan lebih banyak ditemukan tokoh-tokoh jenaka namun penuh nasihat melalui joke-joke keagamaan, sehingga keberagamaan bukan sesuatu hal yang kaku, "hitam-putih", menyoal "salah-benar", dst.

Mereka, memahami dengan sangat baik bahwa salah satu seni mengelola agama dilakukan dengan guyon, sebab itulah bentuk moderasi agama paling jelas dan dapat diterima oleh seluruh kalangan.

Model "kyai kampung" seperti Gus Baha, pernah menceritakan bahwa guyon merupakan kebiasaan para kiai terdahulu. Menurutnya, guyonan para kiai itu sebagai alasan menghindari perbuatan maksiat dengan cara tidak "melabrak" nilai-nilai ketaatan mereka kepada Tuhan.

Gus Baha mencontohkan, ketika ada seseorang baru pulang haji, tetapi malah selingkuh dengan wanita lain karena lebih cantik, tidak dikomentari serius oleh para kiai yang mengetahuinya. "Lha, emang wajar saja wong perempuannya lebih cantik", kata seorang kiai kepada koleganya ketika ditanya.

Hal ini tampak sebagai bagian dari counter wacana: dari pada mengomentari yang seolah-olah benar tetapi malah tersandung pada fitnah, maka jawaban dengan guyon justru terhindari dari batasan-batasan maksiat dalam konteks agama.

Saya kira, guyon juga sebagai ungkapan aktivitas beragama yang "dibenarkan" oleh beberapa catatan tokoh sufi, seperti dalam karya-karya Imam al-Ghazali.

Dalam ajaran Islam, bergembira merupakan seni dalam beragama, sebagaimana Nabi Muhammad menyatakan, "bassyiruu wa laa tunaffiruu" (berikanlah kabar gembira, jangan buat mereka kabur darimu). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun