Terdapat entitas yang sangat penting ketika akan mengurbankan binatang sembelihan, yaitu perasaan ikhlas semata-mata bahwa itu hanyalah persembahan untuk Tuhan, bukan karena tuntutan sosiologis atau sekadar pemenuhan teologis yang pada akhirnya terjebak pada kondisi membanggakan diri atau pamer seolah-olah dirinya yang paling berhak "dekat" dengan Tuhan. Maka, ajaran Islam mengatur bahwa sebagian besar daging sembelihan dibagikan kepada masyarakat bukan untuk dikonsumsi sendiri. Uniknya, fakta belakangan ini menunjukkan mereka yang berkurban selalu saja minta "bagian-bagian" tertentu yang lebih banyak yang permintaannya telah dicatat dalam lembar serah terima antara dirinya dan panitia kurban.
Islam mengajarkan nilai humanisme yang begitu tinggi, salah satunya melalui tradisi berkurban yang diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Pada hari itu pula, bukan suatu kebetulan, nilai kemanusiaan paling nyata justru hadir dalam ritual haji, dimana setelah jamaah haji wuquf di Arafah, mereka bergerak ke Mina untuk melangsungkan ritual jamarat.Â
Wuquf sarat nilai humanisme, dimana seluruh umat muslim dari penjuru dunia berkumpul dalam satu titik, menuju arah yang sama, berpakaian sama, dan menahan diri tidak melanggar aturan-aturan kemanusiaan yang dijalaninya selama pelaksanaan rukun haji. Tepat disaat sebagian besar Muslim tanah air menyembelih hewan kurbannya, para jamaah haji Indonesia sedang melakukan ritual melempar (jumrah) sebagai simbol "membuang" nafsu serakahnya dengan mengorbankan semua keburukannya. Inilah barangkali, sisi lain dari bentuk ontologis, epistemologis, dan aksiologis berkurban yang dipersembahkan hanya semata-mata untuk Tuhan. Selamat Idul Adha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H