Saya justru khawatir, kritik sosial yang diungkapkan Ali Mustafa kepada orang yang berulang-ulang berhaji dengan menilainya sebagai "haji pengabdi setan" justru menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Bagaimana tidak, menteri agama selaku "amirul hajj" (penanggung jawab utama haji) dan petugas-petugas haji lainnya yang ditunjuk dan diizinkan pemerintah, mayoritas adalah mereka yang telah berhaji dan hampir setiap tahunnya diikutsertakan dalam pengurusan seluruh jamaah haji.Â
Mengingat haji merupakan rangkaian manasik (ritual) yang harus diatur, direkayasa, dan dibimbing oleh mereka yang berpengalaman, maka kecil kemungkinan ratusan ribu jamaah haji Indonesia diatur pengurusannya oleh mereka yang belum berhaji sama sekali. Kritik justru perlu disampaikan ketika masih ada petugas haji yang belum berhaji, tetapi dirinya ditugaskan mengatur jamaah haji, tanpa memiliki kemampuan dan kecakapan, baik dari sisi administratif maupun peribadatannya.
Lagi pula, aturan pemerintah bagi mereka yang telah berhaji, diperkenankan mendaftar kembali setelah melewati masa 10 tahun. Ini adalah waktu yang cukup lama, bahkan setelah mendaftar mereka harus menunggu antrian pemberangkatan yang rentang waktunya berbeda-beda.Â
Dengan demikian, kritik "haji pengabdi setan" yang pernah dilontarkan Ali Mustafa Yaqub beberapa tahun yang lalu sudah tidak lagi relevan di saat ini dan bila perlu buatlah suatu narasi yang lebih positif bahwa para haji adalah pribadi-pribadi yang berharap menjadi "pengabdi Tuhan" secara nyata, sebab melalui ziarah ke Ka'bah yang merupakan kiblat umat Muslim seluruh dunia, ada kepuasan tersendiri yang hanya dapat dirasakan melalui kelezatan iman, bukan kegelisahan akal.
Tidak semestinya bahwa sejarah umat Muslim berhenti pada konteks ibadah haji yang dilakukan satu kali oleh Nabi Muhammad selama hidupnya. Haji, merupakan kompleksitas historis yang tidak melulu dilihat di zaman Nabi Muhammad, karena sejak Nabi Ibrahim seruan untuk berziarah ke Ka'bah jelas telah dilakukan sebagai bagian dari "kewajiban" agama.Â
Kewajiban berhaji yang disyariatkan oleh Islam, tentu saja dimulai ketika beberapa tahun Nabi berhijrah ke Madinah. Setelah tahun ke-7 Hijrah, Nabi bersama umat Muslim berangkat menuju Mekah untuk berhaji pada bulan Dzulqa'dah. Dan bukan suatu kebetulan bahwa Dzulqa'dah yang berarti "bulan bersantai" (taq'udu fiih) dalam tradisi bangsa Arab telah dimulai sejak zaman pra-Islam, di mana bulan ini merupakan rangkaian bulan yang paling dihormati---selain Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab---di mana bangsa Arab bersepakat menghentikan perniagaan, permusuhan, bahkan peperangan.
Itulah kenapa, jika merujuk pada realitas historis perjalanan haji Nabi yang dimulai setelah tahun ke-7 Hijrah, jelas hanya satu kali Nabi melakukan haji, yaitu pada persitiwa haji wada' (haji perpisahan). Namun, jika haji merupakan ritual ziarah yang telah diserukan oleh Nabi Ibrahim kepada umat manusia, maka kemungkinan Nabi Muhammad berhaji berkali-kali sebelum dirinya hijrah ke Madinah, mengingat Nabi Muhammad adalah pribadi yang mewarisi tradisi-tradisi agama sebelumnya, bahkan dalam banyak hal sangat menjaga dan menghormatinya, termasuk dalam hal ini adalah ibadah haji.Â
Jadilah haji pengabdi Tuhan, dengan tetap menjaga seluruh larangan dalam bulan-bulan haji sebagaimana ditetapkan agama dan dampak dari ibadah ini adalah kesalehan sosial, di mana kesadaran etik justru menguat setelah mereka pulang seusai beribadah haji. Haji pengabdi Tuhan adalah mereka yang senantiasa menyadari, bahwa rahmat Allah begitu Agung, menancap kuat dalam hati berupa nilai-nilai kesalehan individual namun berdimensi sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H