Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Haji Pengabdi Tuhan

18 Juli 2019   13:44 Diperbarui: 18 Juli 2019   16:01 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 2006, KH Ali Mustafa Yakub (al-maghfurullah), seorang pakar ilmu hadis pernah menulis sebuah artikel dengan judul yang agak provokatif: "Haji Pengabdi Setan". Tulisannya tentu saja sebuah kritik yang ditujukan kepada pihak-pihak tertentu yang melakukan ibadah haji berkali-kali namun dengan tujuan keluhuran duniawi bukan karena keikhlasan semata mengharap keridoan Ilahi.

Melalui kritik sosial, Ali Mustafa memberikan argumentasi teologis bahwa kewajiban haji hanyalah sekali, sehingga ketika haji dilakukan berulang-ulang itu sama saja dengan melampaui batas kewajibannya kepada Tuhan dan itu sama halnya dengan sikap berlebihan dalam beragama.

Sangat dimengerti ungkapan kritik sosial yang diajukan Ali Mustafa, selama bahwa pengulangan ibadah haji oleh seorang Muslim "yang mampu" melaksanakannya tidak untuk kepentingan kehormatan dirinya sendiri, seraya mengorbankan pihak lain yang kebetulan belum "beruntung" berhaji dengan berbagai alasan dan aturan. 

Namun, apakah benar sejauh ini bahwa beberapa orang yang berulang-ulang haji karena urusan pribadi, demi memperoleh gelar kesalehan sosial sesuai dengan motivasi pribadinya? Lalu, bagaimana dengan mereka yang menjadi petugas atau pembimbing ibadah haji yang benar-benar dibutuhkan untuk mengawal dan memberikan bimbingan manasik para jamaah haji yang mayoritas awam dalam hal manasik?

Jika kritik sosial Ali Yakub mencakup semua Muslim yang berulang-ulang melaksanakan haji dengan anggapan bahwa penekanan ibadah bersifat sosial---seperti menyantuni fakir miskin, membantu kerabat yang kesulitan, atau menggembirakan orang-orang yang terdampak musibah---terabaikan, maka hal itu tetap memiliki relevansinya hingga kini. 

Namun, tanpa memberikan penjelasan lebih jauh soal motivasi berhaji---terlebih motivasi atau niat merupakan hal yang tersamar---dengan mengkritik mereka yang seringkali berhaji dengan "sang pengabdi setan" tentu saja tidak hanya kehilangan relevansinya, tetapi lebih jauh akan berdampak pada realitas orang-orang yang menjalankan ibadah haji yang pada saat yang sama merasakan keinginannya kembali berziarah ke Mekah dan Madinah, baik dalam rangka haji maupun umroh.

Haji, dalam banyak referensi fikih, selalu didefinisikan secara bahasa dengan "menyengaja" (al-qashdu) datang ke Ka'bah untuk tujuan ibadah (linnusuki). Unsur kesengajaan tentu saja motivasi yang ditopang oleh segala kemampuan seseorang---baik lahir maupun batin---sehingga haji menjadi ibadah individual (fardhu 'ain) bagi siapa saja yang memiliki kemampuan menjalankannya. Sekalipun seluruh rangkaian ibadah haji cenderung berdimensi sosial---seperti larangan berbuat buruk, berkata kotor, atau berburu selama haji termasuk seluruh rangkaian manasiknya---namun haji tetaplah kewajiban agama bersifat individual bukan sosial. 

Sebagai bagian dari ibadah individual, maka sangat sulit untuk mengukur motivasi, tujuan, terlebih niat yang terbersit dalam lubuk hati seseorang. Sama halnya, tidak mungkin seseorang mengetahui apa motivasi sebenarnya ketika seorang Muslim melaksanakan salat, kecuali ada motivasi pengabdian dirinya kepada Tuhan.

Haji, tentu saja merupakan pengabdian seseorang kepada Tuhannya, jika dilihat dari keyakinan  teologis bahwa haji adalah "seruan" atau "panggilan" Tuhan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. 

Ada sebagian orang yang mampu secara fisik dan materi untuk berhaji, namun belum juga tergerak hatinya untuk berhaji, namun di sisi lain, ada sebagian orang yang secara fisik dipandang lemah atau secara materi sangat tidak memungkinkan, namun kenyataannya Tuhan berkuasa "memanggilnya" bertamu ke rumah-Nya di Mekah. 

Haji seolah menjadi "rahasia Allah" yang seringkali akal manusia tak kuasa menjangkaunya, kecuali melalui berbagai cerita heroik yang ditulis media tentang mereka yang menjalankan haji karena segala hal yang tak terpikirkan sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun