Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Selamat Jalan Jamaah Haji, Semoga Menjadi Haji Mabrur

11 Juli 2019   10:29 Diperbarui: 11 Juli 2019   15:53 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Mekah, Haji 2018/Dokpri

Sejak bulan Syawal, kesibukan para petugas haji Indonesia mempersiapkan keberangkatan para jamaah sudah sangat terasa. Bahkan, beberapa minggu setelah Idul Fitri, beberapa petugas sudah ada yang berangkat lebih dulu menuju Mekah dan Madinah guna mempersiapkan segala hal terkait pelayanan ibadah haji selama di sana. 

Benar, sebagaimana dijelaskan Alquran, "... al-hajju asyhuurun ma'lumaat" (haji itu hanya dilakukan pada bulan-bulan yang telah ditetapkan), di mana bulan-bulan yang dimaksud adalah Syawal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah.

Ketiga bulan ini merupakan rangkaian di mana seluruh jamaah haji di penjuru dunia bertahap menuju Mekah dan Madinah yang puncak rangkaian ibadah ini ada pada tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah waktu Arab Saudi.

Indonesia, sudah sejak tanggal 6 Juli 2019 lalu, telah memberangkatkan sekitar 15.225 jamaah yang terkelompokkan ke dalam 37 kloter dan telah dengan selamat sampai di Madinah. Rangkaian pemberangkatan jamaah haji Indonesia ini akan terus hingga tanggal 5 Agustus mendatang, di mana kloter sapu jagad akan langsung menuju Mekah dan bersiap melaksanakan wuquf di Arafah.

Indonesia, tentu saja menyumbang jamaah haji terbanyak di seluruh dunia dan mungkin terkoordinasi secara baik dibandingkan jamaah haji dari berbagai negara lainnya. 

Sudah sejak era kolonial, jumlah jamaah haji Indonesia selalu bertambah setiap tahunnya, bahkan mungkin sulit dibendung hingga kenyataannya, banyak jamaah yang harus rela antri bertahun-tahun menunggu jadwal keberangkatannya sesuai dengan yang diatur pemerintah.

Kondisi ini paling tidak menunjukkan, jumlah umat Muslim di Indonesia malah semakin meningkat bahkan menjadi negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Padahal, isu-isu mengenai umat Muslim yang belakangan menghangat karena gempuran hoaks politik, ternyata dapat terbantahkan melalui realitas jamaah haji di negeri ini yang senantiasa meningkat tajam bukan malah berkurang. 

Menariknya, berhaji bagi masyarakat Muslim Indonesia selain merupakan kebanggaan tersendiri, juga terselip kesederhanaan dimana seolah-olah haji bagi mereka semata-mata karena rahmat Allah bukan karena upaya mereka sendiri! Kesederhanaan ini jelas tergambar dari kebahagiaan mereka yang sukses mendapatkan panggilan Ilahi berkunjung ke rumah-Nya di Tanah Suci.

Mungkin tak berlebihan, jika dikatakan bahwa realitas historis bangsa ini memiliki kedekatan erat dengan entitas Mekah dan Madinah di Arab Saudi. Sudah sejak zaman pra modern, para ulama Nusantara adalah mereka yang memiliki reputasi luar biasa dan diakui intelektualitasnya sebagai bagian dari ulama Hijaz yang sangat di hormati. 

Syekh Nawawi Banten, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, atau Abdussamad al-Palimbani, merupakan sederet nama yang memiliki reputasi keulamaan internasional yang diakui di Hijaz, sebutan Arab Saudi sebelum dikuasai Bani Sa'ud. Para ulama tersebut sukses membangun tradisi intelektual melalui ikatan-ikatan jamaah haji dan berhasil menanamkan kesadaran etik untuk melepaskan diri dari jeratan kolonialisme.

Itulah sebabnya, haji merupakan bagian dari rangkaian historisitas yang tak pernah terputus, di mana Indonesia dan Arab Saudi memiliki kedekatan secara "kultural", emosional, sekaligus politik. Hampir dipastikan, setiap jamaah haji yang pernah berkunjung ke Mekah atau Madinah, ada keinginan yang sangat kuat untuk kembali lagi berkunjung, entah melalui haji atau umroh, semata-mata karena adanya kedekatan tersebut. 

Mungkin terlampau terburu-buru jika ada sebagian pihak yang menyatakan, haji cukup satu kali, sebab yang terbaik adalah "haji sosial" dalam pengertian memetik pelajaran-pelajaran Ketuhanan selama berhaji lalu diaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Sedekah, berbuat kebajikan, melaksanakan ajaran-ajaran moral yang kesemuanya berdimensi sosial, dianggap lebih penting daripada harus berhaji selama berkali-kali.

Menariknya, haji terkadang dikaitkan dengan politik, di mana ada sebagian orang yang berhaji demi tujuan-tujuan kepolitikan tertentu. Tidak hanya itu, politik yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, selalu menjadi hantaman kritik beberapa kelompok yang memang sedang tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. 

Jika dulu haji pernah dilarang di era kolonial, karena kekhawatiran pemerintah Hindia-Belanda kepada orang-orang yang fanatik setelah pulang dari Tanah Suci dan mudah melakukan dihasut untuk melakukan serangkaian pemberontakan terhadap pemerintah, maka di abad modern ini, tidak demikian.

Politik dikaitkan dengan ungkapan kritik atas pelayanan pemerintah, lalu membuat berita-berita negatif yang menyudutkan, bahkan terkadang ada pula yang mempertanyakan biaya ibadah haji yang dianggap mahal dan naik dari tahun ke tahun.

Sebagai umat Muslim, saya tentu saja selalu memberikan apresiasi kepada pemerintah terhadap seluruh kinerja mereka yang saya rasa semakin baik dari tahun ke tahun. 

Saya rasa, tahun 2019 ini kualitas pelayanan ibadah haji tentu semakin meningkat lebih baik, karena jamaah haji Indonesia telah sangat dimanjakan tidak hanya soal kebutuhan makan selama di Tanah Suci, namun juga fasilitas penginapan di Madinah yang telah diswea oleh pemerintah permusim, seperti di Mekah. 

Tahun lalu, banyak terjadi kekisruhan di Madinah, sebab hotel yang disewa pemerintah masih ditempati jamaah lain, sehingga banyak jamaah yang harus menunggu di lobi sampai menunggu jamaah lainnya keluar dari hotel. Dengan asumsi sewa permusim, maka hotel-hotel di Madinah sudah di sewa pihak pemerintah Indonesia, sehingga tidak bisa ditempati jamaah lainnya kecuali yang berhak menempatinya.

Saya ucapkan, selamat jalan jamaah haji Indonesia, salam dari kami bangsa yang selalu merindukan kedamaian di negeri mayoritas Muslim ini. Salam kami untuk Rasulullah, sosok teladan yang tak ada tandingannya bagi seluruh manusia. Doakan kami yang ada di sini semoga negeri Indonesia tetap aman, damai, sejahtera, dan bersatu dalam irama kulturalnya. 

Saya tentu saja merindukan, saat-saat paling sakral ketika mengelilingi Ka'bah lalu mencium Batu Hitam (Hajar al-Aswad) yang berada tepat di samping pintu Ka'bah. Rindu ini juga sulit terbendung ketika melihat ruang sakral Hijir Ismail yang dipenuhi sesak jamaah lalu, kami berada di antara mereka bermunajat dan salat dua raka'at.

Melihat gambaran itu semua, tak terasa asa ini meledak, tak sanggup membendung mata ini yang berkaca-kaca, kabur melihat penuh sesaknya Ka'bah yang dikelilingi jutaan manusia.

Semoga menjadi haji mabrur, karena itulah sesungguhnya titik balik yang paling utama dalam seluruh rangkaian jamaah haji. Mabrur bukanlah kebanggaan pribadi karena sepulang dari sana digelari "pak Haji" atau "bu Haji". Mabrur, bukan juga berganti dimensi dari pakaian batik dan sarung serta peci lalu berganti menjadi gamis dan topi haji. 

Mabrur adalah diterimanya seluruh ibadah yang ditunjukkan oleh sikap dan akhlak mulia, menjadi manusia yang benar-benar memanusiakan yang lainnya. Mabrur, berarti kita hidup lebih sederhana, seperti ketika kita berpakaian ihram yang hanya dilapisi dua helai kain putih yang tak membedakan siapapun. 

Mabrur, tentu saja soal kita yang harus lebih banyak memberi daripada menuntut untuk banyak diterima. Selamat jalan, doakan kami semoga kami dapat mengunjungi Ka'bah kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun