Mungkin terlampau terburu-buru jika ada sebagian pihak yang menyatakan, haji cukup satu kali, sebab yang terbaik adalah "haji sosial" dalam pengertian memetik pelajaran-pelajaran Ketuhanan selama berhaji lalu diaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Sedekah, berbuat kebajikan, melaksanakan ajaran-ajaran moral yang kesemuanya berdimensi sosial, dianggap lebih penting daripada harus berhaji selama berkali-kali.
Menariknya, haji terkadang dikaitkan dengan politik, di mana ada sebagian orang yang berhaji demi tujuan-tujuan kepolitikan tertentu. Tidak hanya itu, politik yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, selalu menjadi hantaman kritik beberapa kelompok yang memang sedang tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.Â
Jika dulu haji pernah dilarang di era kolonial, karena kekhawatiran pemerintah Hindia-Belanda kepada orang-orang yang fanatik setelah pulang dari Tanah Suci dan mudah melakukan dihasut untuk melakukan serangkaian pemberontakan terhadap pemerintah, maka di abad modern ini, tidak demikian.
Politik dikaitkan dengan ungkapan kritik atas pelayanan pemerintah, lalu membuat berita-berita negatif yang menyudutkan, bahkan terkadang ada pula yang mempertanyakan biaya ibadah haji yang dianggap mahal dan naik dari tahun ke tahun.
Sebagai umat Muslim, saya tentu saja selalu memberikan apresiasi kepada pemerintah terhadap seluruh kinerja mereka yang saya rasa semakin baik dari tahun ke tahun.Â
Saya rasa, tahun 2019 ini kualitas pelayanan ibadah haji tentu semakin meningkat lebih baik, karena jamaah haji Indonesia telah sangat dimanjakan tidak hanya soal kebutuhan makan selama di Tanah Suci, namun juga fasilitas penginapan di Madinah yang telah diswea oleh pemerintah permusim, seperti di Mekah.Â
Tahun lalu, banyak terjadi kekisruhan di Madinah, sebab hotel yang disewa pemerintah masih ditempati jamaah lain, sehingga banyak jamaah yang harus menunggu di lobi sampai menunggu jamaah lainnya keluar dari hotel. Dengan asumsi sewa permusim, maka hotel-hotel di Madinah sudah di sewa pihak pemerintah Indonesia, sehingga tidak bisa ditempati jamaah lainnya kecuali yang berhak menempatinya.
Saya ucapkan, selamat jalan jamaah haji Indonesia, salam dari kami bangsa yang selalu merindukan kedamaian di negeri mayoritas Muslim ini. Salam kami untuk Rasulullah, sosok teladan yang tak ada tandingannya bagi seluruh manusia. Doakan kami yang ada di sini semoga negeri Indonesia tetap aman, damai, sejahtera, dan bersatu dalam irama kulturalnya.Â
Saya tentu saja merindukan, saat-saat paling sakral ketika mengelilingi Ka'bah lalu mencium Batu Hitam (Hajar al-Aswad) yang berada tepat di samping pintu Ka'bah. Rindu ini juga sulit terbendung ketika melihat ruang sakral Hijir Ismail yang dipenuhi sesak jamaah lalu, kami berada di antara mereka bermunajat dan salat dua raka'at.
Melihat gambaran itu semua, tak terasa asa ini meledak, tak sanggup membendung mata ini yang berkaca-kaca, kabur melihat penuh sesaknya Ka'bah yang dikelilingi jutaan manusia.
Semoga menjadi haji mabrur, karena itulah sesungguhnya titik balik yang paling utama dalam seluruh rangkaian jamaah haji. Mabrur bukanlah kebanggaan pribadi karena sepulang dari sana digelari "pak Haji" atau "bu Haji". Mabrur, bukan juga berganti dimensi dari pakaian batik dan sarung serta peci lalu berganti menjadi gamis dan topi haji.Â