Inilah yang sekaligus membuat salah satu tokoh masyarakat, Din Syamsuddin, bereaksi keras atas pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko yang menyebutkan sudah ada 30 teroris yang masuk wilayah Jakarta dan akan melancarkan aksinya disaat MK memutuskan perkara perselisihan hasil Pilpres 2019.
Alih-alih menciptakan suasana kondusif dan membangun tingkat keamanan dan kenyamanan masyarakat, pernyataan Moeldoko jelas mengkhawatirkan atau bahkan menambah kengerian di tengah animo masyarakat yang sedemikian hebat tersihir oleh drama-drama faktual yang dipertontonkan melalui serangkaian sidang di MK. Bangsa ini semakin dihantui oleh dramaturgi politik remeh-temeh dalam perebutan kekuasaan, hampir tak ada pihak yang rela melepaskan diri dari hiruk-pikuk ini, kecuali saling berebut pengaruh sebagai pihak yang pro maupun kontra. Terlalu banyak energi positif masyarakat yang digadaikan sia-sia dalam rangka perebutan kekuasaan, padahal aspek-aspek sosial yang lainnya banyak yang hampir tak pernah disentuh sedikitpun.
Jelang keputusan MK tergambar melalui kesibukan yang luar biasa para aparat yang memberlakukan rekayasa lalu-lintas dan berdampak pada sulitnya akses masyarakat untuk melakukan aktivitasnya secara normal.Â
Bahkan, asumsi soal adanya teroris semakin membuat kehidupan masyarakat di Jakarta semakin tidak nyaman, dihantui rasa ketakutan dan kengerian, padahal ini terkait oleh suatu pembacaan keputusan hukum yang benar-benar cermin dari keadilan.Â
Ironi memang, bahwa suasana keadilan justru terganggu sedemikian rupa oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap realitas hukum, pro-kontra kekuasaan politik, bahkan ditambah persepsi negatif mereka terhadap munculnya aksi teror di sela-sela diputuskannya ketetapan hukum.
Aroma perebutan kekuasaan seolah tak pernah melemah, sekalipun masa-masa genting kontestasi telah jauh meninggalkan arenanya. Disadari maupun tidak, kekuasaan ibarat tulang belulang yang diperebutkan, padahal daging yang lezatnya telah habis tak bersisa.Â
Seolah, kekuasaan politik itu menjadi penentu maju-mundurnya suatu negara dan bangsa, padahal, kekuasaan tentu saja siklus lima tahunan yang siapapun berhak mendapatkannya, tanpa harus berjibaku mengorbankan apa saja.Â
Indonesia, tentu saja dibangun oleh peradaban yang saling bersinergi diantara nilai-nilai moral, tradisi, adat, agama, yang hidup saling mendukung, tidak semata-mata hasil perebutan kekuasaan yang seringkali mengorbankan banyak pihak.Â
Kita tentu saja tidak berada dalam siklus zaman Majapahit yang direbut kekuasaan politiknya oleh Demak, bukan pula kehebatan Demak yang pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan Mataram.
Sebagai bangsa yang melek dan taat hukum, kita tentu saja belajar dari kearifan dan kebijaksanaan para mbah-mbah kita terdahulu yang senantiasa menekankan aspek keluhuran moral, menerima segala konsekuensi hukum yang telah disepakati dan ditetapkan, melegakan atau menyempitkan sebagian atau beberapa pihak sekalipun, namun itulah keputusan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.Â
Tak perlu juga para penguasa menakut-nakuti bahwa ketika keputusan hukum itu ditolak, terjadi kekacauan dan kekisruhan yang dimotori oleh para teroris yang pada akhirnya menciptakan "kambing hitam" terhadap suatu kelompok keagamaan tertentu dalam masyarakat.Â