Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KH Ahmad Sanusi: Tradisionalisme, Aktivisme, dan Otoritas

18 Juni 2019   20:15 Diperbarui: 18 Juni 2019   20:27 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti kebanyakan karya ulama soleh terdahulu, mereka senantiasa menunjukkan kesederhanaan dan kebersahajaannya di awal ketika menulis segala sesuatu. Menulis, seolah memadukan ruang ideal dan spiritual, ditopang oleh ketulusan niat, semata hanya mengharapkan perkenan dan rida dari Allah. 

Seperti tertulis di sampul depan tafsirnya ini, "Kebon rupa2 ilmu jeung nganyahokeun maksudna Qur'an dikarang jeung dianggit ku kula ajhal khadim thalabatil 'ilmi...". Salah satu contoh, ketika Syekh Sanusi menafsirkan ayat 35 surat al-Maidah, dalam karyanya, "Raudlatul 'Irfan":

"Hai eling-eling sakabeh jalma anu iman, eta sakabeh jalma kudu sieun maraneh kabeh ku Allah, jeung kudu neangan maraneh kabeh ka Allah perantaraan anu ngadeukeutkeun jeung kudu jihad maraneh kabeh dina agama Allah, supaya maraneh kabeh meunang kabagjaan di dunia di akherat".

Syekh memberi penafsiran singkat mengenai ayat ini dengan menyebutkan, "maraneh kudu tawasul kalawan amal atawa kalawan anbiya, auliya jeung solihin saka yakin sasarna anu ngamusyrik-musyrik ka sagala tawasul" (kalian harus bertawasul dengan amal atau kepada para nabi, para wali, dan orang-orang soleh dengan yakin yang ditujukan kepada mereka yang gemar memusyrikan segala praktik tawasul). 

Dari ungkapan ini, terasa sangat kental penolakannya atas kegiatan kelompok reformis yang melancarkan serangan terhadap kaum tradisionalis dengan menganggap segala praktik ibadah yang berkaitan dengan adat atau tradisi sebagai bagian dari khurafat, bid'ah, bahkan musyrik.

Syekh Ahmad Sanusi paling tidak merupakan simbol tradisionalisme pesantren yang merespon wacana dan gerakan reformisme yang telah terjadi di awal abad ke dua puluh. Menariknya, pesantren yang berada di Pulau Jawa merupakan satu-satunya "pengikat" paling kuat diantara penggalan-penggalan tradisi yang hampir tak tergoyahkan bahkan hingga saat ini. 

Sekalipun kritik yang membanjiri dari sekian banyak kalangan sarjana modern Muslim yang menyebut terjadinya dekadensi intelektual Islam---seperti kritik Fazlur Rahman atas tradisi syarh yang ditulis banyak ulama Jawi---namun kenyatannya, perkembangan intelektual Islam di Indonesia tentu meningkat melalui perkembangan tradisi ini. 

Hal ini jelas berbeda dengan kesimpulan Jajat Burhanudin dalam bukunya, "Ulama dan Kekuasaan": 2012, dimana ia menulis bahwa, "bukannya menandai dekadensi intelektual, penulisan syarh oleh ulama Jawi memperkuat kembali berdirinya ulama sebagai kelompok yang otoritatif dalam pembentukan diskursus Islam".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun