Selepas dari segala aktivitas politik, sikap paling jelas sebagai anti-kolonial terwakili dalam salah satu karya tafsirnya, "Mulja'ut Thalibin"---tafsir berbahasa Sunda yang secara kritis-akademis diulas oleh Jajang A Rohmana, dalam salah satu artikelnya, "Al-Quran wa al-Isti'mar: Radd al-Syekh Ahmad Sanusi (1888-1950)"---yang ditulis sekitar tahun 1931-1932.Â
Tafsir ini---menurut Jajang---ditulis di masa-masa pengasingan di Central Batavia dimana secara sangat lugas mengkritik para penghulu atau ulama-ulama birokrat yang diangkat pemerintah kolonial dengan sangat "keras". Seperti ketika menafsirkan surat al-An'am: 52-53:
"Lantaran eta ngusir ka batur atawa wungkul samata2 ngahinakeun jeung mikabenci ka eta jalma padahal sakabeh jalma anu iman anu islam, eta mesti kudu diaku jeung kudu diagungkeun jeung kudu dihormat, jadi lamun aya jalma anu sok ngusir ka jalma Islam Iman eta samata2 iblis setan, komo lamun eta jalma teh make ayan ngaran guru, eta lain guru Islam, tatapi guru Iblis sahakekatna Dajjal Ajaajil...Jadi kacida blegugna lamun jalma dipaparin kabeungharan dipaparin kamulyaan di dunya make tabeat gumede plegig dolim kanu hina kanu pakir"
Kritiknya juga tampak "keras" kepada gerakan reformis Islam yang secara nyata menyerang kalangan tradisional pesantren, terutama pihak reformis menuduh para tokoh pesantren sekadar "taklid buta" Â yang sepi dari nilai-nilai itjtihadi dalam merespon kemajuan pemikiran Islam.Â
Maka, karya-karya Syekh Sanusi, seperti "al-Silah al-Mahiyyah li Thuruq al-Firaq al-Mubtadi'ah" tentang kelompok muslim yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pengikut praktik Mu'tazilah, Syiah, dan bid'ah; "Mandzumat al-Rijal" yang membahas tentang tawasul; dan kitabnya yang mengkritik wacana reformis yang saat itu berkembang adalah "al-Mufahamat fi Daf'i al-Khalayat" yang menekankan pentingnya mengikuti salah satu mazhab tertentu dalam Islam secara taqlid, seolah mewakili pemikiran tradisionalis dalam merespon wacana reformis yang kian marak.Â
Syekh Sanusi menjadi corong utama kalangan tradisionalis di awal abad ke dua puluh dalam merespon gerakan dan wacana reformis yang cukup tajam, terutama dalam menyoroti persoalan ijtihad dan taklid.Â
Kalangan reformis umumnya menganggap, sikap taklid masyarakat Muslim Indonesia atas kekuatan otoritas para ulamanya, semakin membuat pintu ijtihad tertutup rapat-rapat.Â
Betapapun taklid sesungguhnya keniscayaan, sebab sebuah adagium menyebutkan, "al-insaanu hayawanun muqallidun" (manusia adalah sekumpulan mahluk penjiplak satu dan lainnya). Jadi patut diperhatikan, bahwa sesungguhnya kalangan reformis juga taklid atas segala pengaruh yang kala itu dipelopori ulama Mesir, Syekh Muhammad Abduh.
Menariknya, Robert R Jay melukiskan gerakan reformasi Islam di Jawa ini---dalam bukunya, "Religion and Politics in Rural Central Java": 1963---mengikuti arah pemikiran yang ditempuh oleh "Manar Modernist" Abduh di Mesir, yakni mengkompromikan antara "western rationalism" dan "Islamic fundamentalism" memadukan rasionalisasi Barat dan pedoman fundamentalisme Islam. Tepat sebagaimana yang disebutkan C.C. Berg, bahwa orang-orang Indonesia sekembalinya dari Mesir memancarkan sinar Al-Manar di tanah airnya (lihat misalnya, H. Aqib Suminto, "Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda": 1985)
Namun demikian, diantara karya Syekh Sanusi dalam bidang tafsir Alquran yang secara sempurna ditulis hanyalah kitab "Raudlatu al-'Irfan fi Ma'rifati al-Qur'an" sebanyak dua jilid, dimana jilid pertama ditulis oleh sekretarisnya Muhammad Busyra atas persetujuan Syekh dan jilid berikutnya ditulis oleh Muhammad bin Yahya, dimana jilid lengkapnya inilah kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit Pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi.Â
Kita tentu saja dapat mengetahui, bahwa dalam karya tafsirnya ini tampak jelas penolakan Syekh Ahmad Sanusi terhadap wacana reformis yang terlampau mudah memberikan label "bid'ah" atau "syirik" atas praktik-praktik keagamaan yang sejauh ini dibolehkan berdasarkan ijma' ulama.