Manusia tentu saja bagian kecil dari kosmos yang diberi keistimewaan oleh Tuhan diantara makhluk ciptaan-Nya yang lain, salah satunya adalah "sebagian" ruh Tuhan ditiupkan kedalamnya. Hal ini, tentu saja secara tegas disebutkan dalam Alquran, bahwa "Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya" (Q.S.38:72).Â
Maka, setiap sebagian yang dimiliki Tuhan yang dititipkan dalam diri manusia, pasti mereka akan mencari jalan untuk kembali kepada Tuhannya. Mencari "jalan kembali" dalam konteks kekinian adalah "mudik", yang gambaran umumnya dapat dilihat ketika musim libur lebaran semakin dekat.
Nilai-nilai agama yang secara batin menancap dalam masyarakat Indonesia, tentu saja menjadikan bangsa ini memiliki banyak kekhasan dan keunikan yang mungkin tak akan ditemukan dalam masyarakat lainnya di belahan bumi manapun.Â
Disadari maupun tidak, ekspektasi mereka untuk dapat mudik ke kampung halaman, merupakan cara mereka menghayati dan mengimplementasikan nilai-nilai agamis yang telah berurat akar dalam diri mereka sendiri.Â
Mudik, bukan saja bernilai sosiologis: pulang kampung bertemu orangtua dan sanak saudara, namun ia dapat bermakna teologis: mereka mencari jalan pulang untuk kembali kepada sang Maha Pencipta, cepat ataupun lambat.
Tak heran rasanya, ketika momen mudik juga seringkali dimanfaatkan untuk berziarah ke makam leluhur, dimana setiap orang diingatkan dalam nuansa yang lebih eskatologis, bahwa suatu saat mudik yang sebenarnya bukanlah "pulang sebentar" tetapi "kembali" sepenuhnya memenuhi panggilan Tuhan.Â
Kampung manusia sebenarnya adalah "disana", karena "disini" hanyalah sekadar melepas lelah, beristirahat dalam suatu perjalanan panjang dan pada saatnya kita harus kembali. Mudik, dengan demikian sarat nilai filosofis, sehingga merenungi dan menyelami makna-maknanya dapat menggugah kesadaran etik manusia agar lebih banyak berbuat baik dan menghindari sekuat mungkin perbuatan buruk yang merugikan pihak lain.
Masih beruntung, bahwa tradisi mudik lebaran tetap dipertahankan di Indonesia bahkan menjadi tradisi tahunan yang sangat menyita waktu bagi aparat pemerintah dan seluruh stake holder-nya. Bahkan, tidak hanya itu, nuansa mudik lebaran membuat pemerintah merogoh kocek lebih dalam untuk mengalokasikan anggaran belanja pegawai secara lebih besar.Â
Mereka dikembalikan ke kampung halaman dengan dibiayai pemerintah, lalu diperintahkan "kembali" seusai urusan "ritual" mudik mereka selesai. Perjalanan mereka yang mudik yang mencapai ribuan kilometer, bahkan pada saatnya akan kembali lagi ke titik awal dimana mereka melakukan perjalanan.
Mudik, dalam bahasa agama disebut sebagai ungkapan keagungan Tuhan karena petunjuk yang diberikan oleh-Nya (wa litukabbirullaha 'ala maa hadaakum) serta ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah yang luar biasa yang diekspresikannya dengan melantangkan kalimat "takbir".Â
Jadi, ungkapan takbir di jalanan, seharusnya memang hanya ada dikala mudik dan tak ada dalam momen apapun selainnya. Imam az-Zamakhsyari bahkan berpendapat dalam karya tafsirnya, bahwa pelantangan takbir---selain shalat---hanya ada dalam dua kondisi: saat Idul Fitri dan ketika melihah hilal (bulan).Â