Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Filosofi Mudik Lebaran

31 Mei 2019   10:54 Diperbarui: 31 Maret 2020   07:36 2281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena mudik dari tahun ke tahun selalu menyisakan kegembiraan dan kepuasan, ditengah himpitan ekonomi dan politik, bahkan di tengah gempuran jumlah pemudik yang selalu meningkat, atau bayang-bayang kemacetan parah yang hampir tak pernah ditemukan solusinya hingga kini. 

Mudik, selalu menjadi harapan paling baik bagi siapapun yang tinggal di Nusantara, lintas agama dan etnis, bahkan kultural, semua merayakan kesombongan Hari Raya Idul Fitri yang fenomenal.

Mungkin, terasa sulit ditemukan dimanapun, ada suatu momen terbesar, tersibuk, bahkan terpadat, kecuali jelang Idul Fitri dan hanya terjadi di Indonesia.

Istilah mudik yang memiliki konotasi "pulang ke kampung halaman" memang sarat nilai filosofis bagi manusia Nusantara. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia sudah sejak dulunya merupakan masyarakat agamis dan nilai-nilai agama telah menancap kuat dan hidup dalam suasana batin mereka secara turun temurun. 

Sudah ditemukan banyak nasihat bijak, dimana "setinggi-tinggi bangau terbang, jatuhnya ke kubangan jua" yang memiliki arti sejauh-jauh orang merantau, pada akhirnya akan kembali ke kampung halaman juga. Dan hampir dipastikan, keterikatan batin yang kuat yang tertanam dalam tradisi masyarakat Indonesia, dimana kampung halaman adalah lingkungan yang membesarkan dan merawat mereka, seolah tak luntur dimakan zaman.

Disadari maupun tidak, manusia tentu saja makhluk peziarah. Kita pada saat yang sama, mungkin saja berada dalam suatu titik yang berbeda: rumah, kantor, toko, jalan, bertemu dengan lainnya, atau tiba-tiba berada di suatu kota tertentu. 

Tak ada sedetikpun manusia itu diam, termasuk ketika dirinya sedang tidurpun, sebab sekalipun seluruh tubuh tampak diam, namun jantung tetap berdetak, sibuk memompa kehidupan setiap detiknya dan menyalurkannya ke seluruh tubuh. Manusia terus bergerak, berziarah, berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa henti.

www.cnnindonesia.com
www.cnnindonesia.com
Pergerakan manusia yang hampir tak pernah berhenti, tetap akan kembali kepada satu titik semula, titik dimana seseorang itu memulai pergerakannya. 

Dalam pandangan teologis, manusia akan selalu mencari jalan kembali kepada Tuhannya, sebab kecenderungan mereka kembali kepada siapa yang menciptakannya. 

Sejauh apapun manusia terhadap Tuhannya, atau mungkin setidak peduli apapun seseorang dengan Penciptanya, toh pada akhirnya mereka akan kembali kepada Pemiliknya. 

Mudik, seolah memberikan titik tekan secara kosmologis, bahwa manusia sejatinya akan dikembalikan ke kampung halamannya, titik dimana pertama kali mereka lahir, berproses, dan bergerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun