Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Puasa dan Politik Kekerasan

29 Mei 2019   12:52 Diperbarui: 29 Mei 2019   20:35 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kericuhan terjadi saat polisi berusaha membubarkan aksi massa penolak hasil pemilu di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (22/5/2019). | KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Hanya di tahun 2019 ini rasa-rasanya menjadi puasa yang semestinya secara khidmat dijalankan seluruh umat muslim, tetapi diramaikan oleh kasus kekerasan politik yang menggelinding di jalanan. 

Aksi yang membuat ricuh pada 22 Mei lalu, semakin menguak banyak hal yang memang menjalankan praktik kekerasan politik secara terang-terangan. 

Mencuatnya sederet nama tokoh nasional yang dijadikan target pembunuhan oleh sekelompok orang, jelas erat kaitannya dengan suatu kepentingan politik. Pemilu 2019, ternyata menyisakan bola panas demokrasi yang kemudian dimanfaatkan segelintir orang demi tujuan-tujuan kekuasaan. 

Parahnya, aksi kekerasan ini justru didisain secara terencana di saat puasa, padahal puasa sendiri bagi umat muslim merupakan aktivitas menahan dan mengendalikan diri dari segala hal yang tidak bermanfaat, terlebih mengganggu atau merusak.

Uniknya, mereka yang kemudian terindikasi makar, justru merupakan orang-orang yang sejauh ini dipandang publik sebagai muslim yang taat, atau paling tidak, secara terbuka menyatakan identitas politiknya kental nuansa agama. Pengacara kesohor yang selalu diidentikkan dengan "pembela umat Islam", Eggi Sudjana, justru "dirumahkan" akibat hasutannya dalam suatu acara mengajak massa berbuat makar. 

Kebenciannya terhadap aparat pemerintah, sepertinya tak dapat lagi dikendalikan, sehingga nilai puasa yang seharusnya mengental dalam diri setiap muslim, justru meleleh. Eggi seolah masuk perangkap yang ia buat sendiri, sebagai ahli hukum namun terjerat kasus hukum.

Aktivitas makar di bulan puasa tidak berhenti pada fenomena Eggi, belakangan malah tersiar kabar seorang purnawirawan jenderal TNI malah diciduk polisi. Kivlan Zen, yang sudah sejak lama muncul menjadi sosok kontroversial di depan publik, memang seringkali menjadi ikon "perlawanan" umat Islam yang secara politik selalu berseberangan dengan pihak pemerintahan. 

Sejak suaranya yang lantang dalam berbagai diskusi mengenai "Tragedi PKI", Kivlan semakin moncer dielu-elukan sekelompok orang yang mendidentifikasikan dirinya dengan kekuatan "Islam politik". Namun, ada satu jenderal yang juga sangat dikenal, namun rasa-rasanya belakangan seolah hilang di telan bumi, padahal dia dipromosikan sebagai "jenderal santri" yang cakap memimpin negeri.

Bagi saya, politik kekerasan dalam bentuk apapun, terlebih ada upaya-upaya tersembunyi maupun terang-terangan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, jelas bertentangan dengan undang-undang dan lebih jauh menyalahi dan melanggar aturan-aturan agama Islam. Anehnya, kegiatan ini justru seolah sengaja dijalankan ketika puasa, padahal puasa, adalah satu-satunya ritual yang esensinya mendidik setiap orang untuk tidak memaksakan kehendak. 

Tidak hanya itu, Islam secara tegas mengajarkan, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan para pemimpin di antara kamu" (QS. An-Nisa: 59). Ayat ini sangat jelas mendudukkan para penguasa itu setara dalam hal ketaatannya dengan Allah dan Rasul, sehingga ketaatan kepada pemerintah jelas bagian dari perintah agama, par excellence.

Dengan demikian, jika ada upaya-upaya tertentu yang mendorong kepada suatu aktivitas politik yang didahului dengan upaya membangun kebencian kepada pemerintah lalu berupaya menggulingkannya di tengah jalan, jelas pelanggaran berat baik dari sisi agama maupun kesepakatan politik. 

Yang sangat menyedihkan, pada akhirnya terjadi kerusuhan yang mengakibatkan rusaknya fasilitas umum dan pribadi yang merugikan banyak pihak, jelas ini merupakan kegiatan kriminal yang harus segera diselesaikan secara hukum. 

Entah apa yang ada dalam benak dan dibalik batok kepala mereka yang dengan begitu gampangnya, membuat asumsi-asumsi atas pembenaran tindakan mereka yang didasari oleh ketidakadilan atau kezaliman para penguasa.

Maka  secara tegas Islam benar-benar menghindari sumber kekacauan sosial akibat benturan kepentingan politik dengan menyatakan bahwa mentaati Allah, Nabi, dan pemerintah seolah tak dapat dipisahkan. 

Bahkan dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa taat kepada penguasa itu tak bisa ditawar, sekalipun mereka berbuat zalim, maka mekanisme secara arif dan lunak, tetap dikedepankan sebagai bentuk kritik kepada mereka. 

Bahkan lebih baik ada pemerintahan sekalipun buruk daripada kosong atau vakum sama sekali, sebab itu lebih berbahaya dalam meruntuhkan segala macam sendi keutuhan sosial dan politik.

Lalu, kenapa ada sementara masyarakat yang sedemikian benci pemerintah? Muak dengan para penguasa? Kebanyakan memang karena ada upaya penggiringan opini yang terus secara massif dijalankan oleh para pemangku kepentingan dan elit politik yang memang sedang mengincar pos-pos kekuasaan dan ladang-ladang bisnis yang memberikan berbagai keuntungan ekonomis. 

Jika bukan hal tersebut apalagi? Agama, bagi saya, hanyalah alat yang dipakai sebagai "pembenar" dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam hal upaya memperburuk citra pemerintah di hadapan publik. Lebih mengerikan lagi, ketika agama justru dijadikan alat pembenaran bagi setiap caci-maki, fitnah, nyinyiran, kritikan, bahkan serangan-serangan dalam bentuk apapun terhadap pihak lain yang tidak sehaluan politiknya dengan mereka.

"Jika dalam ukuran manajemen menyebut bahwa potensi manusia itu dibangun melalui knowledge, skill, dan attitude, maka puasa merupakan bentuk manajemen potensi diri yang menggabungkan antara ilmu pengetahuan, amal perbuatan yang mendatangkan kemanfaatan."

Mereka hampir berhasil, menjadikan momentum puasa pada tahun ini porak-poranda, menjauhi nilai-nilai kebaikan, disiplin moral, ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhan, menjadi percikan-percikan nafsu tak terkendali, terjatuh dalam kubangan birahi politik-kekuasaan yang kotor dan penuh teror. Benarkah ini yang kemudian digaungkan sebagai bentuk perjuangan agama? 

Dengan merusak nilai-nilai puasa, mereka berteriak seraya merusak, menghancurkan setiap apa yang ada, lalu dengan semangat takbir justru berharap pemerintahan ini runtuh dengan cara dipaksa digulingkan di tengah jalan akibat nafsu yang tak tertahan? Hal ini tidak hanya mengerikan, tetapi jelas sangat menggelikan, ketika agama terus diperalat untuk melegitimasi satu kekuatan politik.

Saya bukan penganut teori bahwa tak ada pemisahan agama dengan negara, sekaligus saya tak sepenuhnya sepakat atas suatu konstruksi klasik yang menyebut bahwa Islam sebagai agama adalah suatu sistem yang lengkap mencakup tatanan sosial-politik yang telah baku sedemikian rupa. 

Bagi saya, agama adalah "ruh" (core) yang ada dalam seluruh lini kehidupan, termasuk sosial, hukum, politik yang membangun partikel-partikel peradaban. Itulah sebabnya, kenapa Indonesia hingga saat ini tak mungkin terpecah-belah, dikarenakan agama sudah melekat menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dan tak perlu lagi seolah "mengajari ikan berenang".

Kita mungkin sudah hampir-hampir dilupakan oleh gemerlap politik duniawi yang seringkali menjadi awan gelap yang menutupi hampir seluruh sendi syaraf otak kita sendiri. 

Sehingga segala sesuatu yang tertutup tampak gelap dan kita tak mampu menguak kegelapan itu yang pada akhirnya nafsu kita yang selalu membenarkan segala tindakan kita, bukan akal sehat apalagi nurani. 

Puasa yang semestinya mengalahkan keliaran dorongan nafsu, malah bertekuk lutut dan menyembah nafsunya sendiri dan mengikuti segala keinginannya untuk merusak, menghancurkan, membuat opini negatif, menghasut, dan segala hal buruk yang jelas tidak ada dampak manfaatnya sama sekali.

Puasa yang seharusnya mampu me-manage potensi yang ada dalam diri setiap muslim, justru disimpangkan begitu saja oleh ambisi dan nafsu kekuasaan. Jika dalam ukuran manajemen menyebut bahwa potensi manusia itu dibangun melalui knowledge, skill, dan attitude, maka puasa merupakan bentuk manajemen potensi diri yang menggabungkan antara ilmu pengetahuan, amal perbuatan yang mendatangkan kemanfaatan dan akhlak yang menopang kemuliaan hidup sebagai manusia. 

Itulah esensi puasa yang membentuk karakteristik takwa, dimana formulasi knowledge (ilmu), skill (amal), dan attitude (akhlak) bersatu dan saling menopang antarsatu dan yang lainnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun