Puasa yang diwajibkan kepada umat Muslim di bulan Ramadan selama satu bulan, bukan tidak mungkin dalam rangka memperingati turunnya Alquran yang pertama kali diterima Nabi Muhammad. Praktik puasa yang ditekankan untuk memperingati suatu peristiwa tertentu yang dianggap penting, sudah terjadi jauh sebelum peristiwa puasa di bulan Ramadan. Bahkan, Nabi sendiri ketika ditanya seseorang soal puasanya di hari Senin dan Kamis, beliau sendiri menyatakan bahwa Senin merupakan hari kelahirannya dan Kamis memiliki arti penting sebagai peristiwa disetorkannya catatan amal manusia mingguan kepada Tuhan.
Sekalipun seluruh kitab suci diturunkan di antara malam-malam di bulan Ramadan, namun hanya peristiwa Alquran yang diturunkan di malam itu yang kemudian diperingati melalui puasa. Peristiwa diturunkannya Alquran yang demikian agung, diperingati dengan puasa wajib oleh seluruh umat Muslim sepanjang bulan Ramadan.Â
Pilihan atas bulan Ramadan juga seolah tak luput dari skenario sang Maha Agung, karena bulan ini dikenal berada dalam dua titik paling ekstrim: jika panas teramat terik dan jika dingin, hampir dapat membekukan kehidupan sekelilingnya. Seolah tepat dimana istilah "ar-ramdlu" berkonotasi "membakar", maka puasa sejatinya proses dalam upaya "pembakaran" atas dosa-dosa manusia (yarmidlu adz-dzunuub).
Alquran turun di satu malam "misteri" di bulan Ramadan yang dikenal dengan istilah "lailatul qadr" (malam yang ditentukan) dalam bahasa tertentu yang telah mengalami distorsi: dari Tuhan, Jibril, lalu kedalam hati Nabi Muhammad. Alquran lalu menjelma dalam rangkaian bahasa Arab, bahasa yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad dalam hal berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya pada waktu itu. Turunnya Alquran tidak serta merta menjadikan Nabi Muhammad bersuka cita, namun lebih ke arah sebaliknya, Nabi justru dibuat kebingungan, ketakutan yang amat sangat, bahkan tak jarang merasakan rasa dingin yang luar biasa hingga seluruh badannya menggigil.
Nabi Muhammad tentu saja tak jarang merasakan sakit yang sangat luar biasa ketika ia harus "dipaksa" menerima wahyu dari Allah melalui perantara malaikat Jibril. Proses penerimaan hingga sampai pemulihan kondisi Nabi Muhammad dalam menerima wahyu, inilah yang kemungkinan menjadi teladan seluruh umat Muslim sebagai peristiwa yang luar biasa kemudian diperingati dengan cara berpuasa: tunduk dan patuh hanya kepada Allah dan menyerahkan segenap jiwa raganya hanya kepada Allah. Penyepiannya selama beberapa tahun di Gua Hiro, beberapa kilometer dari kota Mekah, yang dijalani Nabi Muhammad dengan berpuasa: tidak makan, minum, dan tidak berbicara ternyata mendapat jawaban dari Allah, melalui turunnya Alquran ditempat yang sama.
Realitas atas kesadaran kewahyuan Nabi lalu menguat dan disaat yang sama, setiap meditasinya di puncak Jabal Nur, memberikan pemahaman eskatologi yang cukup kuat. Nabi misalnya, mulai mengkritik para plutokrat Mekah yang sewenang-wenang, melalui ramalannya tentang dekatnya hari Kiamat dan seluruh amal manusia akan diperhitungkan dan diminta pertanggunjawabannya oleh Allah. Nabi juga menolak tradisi politeisme kaum kafir, sebab politeisme hanya memecah dan mengecilkan kemahakuasaan Tuhan yang tak terbatas itu.
Alquran diturunkan secara bertahap, dalam berbagai kondisi dan keadaan tertentu, sebagai jawaban atas kegelisahan masyarakat Arab, terkait erat dengan situasi historis, yang secara garis besar berada dalam lingkup peristiwa Mekah (Makiyah) dan Madinah (Madaniyah). Ayat-ayat Alquran yang turun pada peristiwa Mekah, tentu menunjukkan semangat visioner Nabi dalam menggelorakan pemberontakan melawan kesewenang-wenangan dan kecongkakan para penguasa Mekah. Gaya bahasanya bersifat saj', dimana segmen-segmennya susul-menyusul seperti degub jantung yang menggebu-gebu.
Namun, gaya bahasa Alquran tampak sedikit berbeda dalam peristiwa Madinah, sebab di Madinah Islam sudah melembaga menjadi suatu "agama" dengan realitas sosial-politik yang secara ajeg dipertahankannya. Pada wahyu-wahyu Madinah, kekuatan retoris kenabian yang menghentak-hentak tampak mulai berkurang, hingga ke taraf bahasa keseharian karena banyak persoalan-persoalan sosial yang harus dibicarakan.Â
Nabi tampak lebih berhati-hati ketika di Madinah, bahkan beliau digambarkan sebagai sosok pemimpin yang penuh perhitungan dan bijaksana dalam menghadapi berbagai peristiwa keduniaan. Maka, gaya bahasa Alquran tidak lagi berbentuk saj', namun menggunakan teknik birama dalam bentuk prosa-prosa yang panjang.
Alquran, merupakan kitab suci paling otentik yang diyakini seluruh umat Muslim berasal dari Ilahi. Tidak ada gradasi nilai di dalam seluruh gaya kitab suci ini, tetapi memandangnya sebagai suatu mukjizat Tuhan yang disampaikan melalui Nabi Muhammad, suatu adimukjizat yang membuktikan bahwa misinya benar-benar misi ilahi.Â
Kemukjizatan Alquran banyak dibuktikan oleh tantangan-tantangan langsung kitab ini kepada para penyair Mekah untuk membuat semisal saja, satu surat seperti yang ada dalam Alquran, namun ternyata terbukti tak ada yang pernah mampu menandingi keagungan nilai-nilai keilahian yang begitu otentik dalam bait-bait ayat-Nya.