"Puasa memang tidak lain merupakan bentuk "people power" paling lembut, sebab kekuatan sosial yang timbul justru berupa semangat untuk memperbaiki diri, memanusiakan manusia melalui peneladanan atas sifat-sifat Tuhan yang Maha Agung."
Puasa di bulan Ramadan hanyalah upaya menggalang "people power" membentuk suatu "kesadaran kolektif" agar mereka meneladani sifat-sifat Tuhan dan meninggalkan sifat-sifat dirinya sendiri sebagai manusia yang rakus.
Menghubungkan puasa dengan konsep "people power" memang bukan dibaca dalam perspektif suatu tujuan politik, namun lebih kepada penyadaran nilai-nilai kebersamaan secara sosial, dengan tujuan dan cita-cita yang sama: membangun suatu komunitas yang peduli terhadap hal apapun yang sekiranya menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.Â
Kemiskinan, kebodohan, dekadensi moral, kesadaran Ketuhanan merupakan beberapa contoh dari aspek-aspek sosial-humanistik-teologis yang hendak disadarkan melalui nilai-nilai dalam berpuasa: bangun sebelum waktu Subuh; beraktifitas melalui kegiatan sahur; menjalin komunikasi lebih intens dengan keluarga; bersabar untuk menjaga hal-hal yang membatalkan puasa; dan bersilaturahmi dan menggaungkan "people power" untuk salat berjamaah di masjid-masjid terdekat.
Jika suatu gerakan "people power" dibangun hanya dalam memenuhi ekspektasi kekuasaan, terlebih lagi berharap kedudukan dan kemuliaan duniawi dengan mengenyampingkan bahkan membuang jauh-jauh aspek humanis bahkan teologis dari ritual puasa, saya kira hal ini telah mencerabut nilai-nilai dari puasa yang sebenarnya.Â
Sungguh sangat disayangkan, ketika Tuhan memberikan kemuliaan atas bulan Ramadan yang diperingati oleh seluruh umat muslim dengan berpuasa, lalu disia-siakan begitu saja, bahkan ditumpangi oleh motif-motif duniawi yang menimbulkan reaksi negatif dari banyak orang, bahkan tak jarang muncul sumpah-serapah, jelas gagal dalam meneladani sifat-sifat Ketuhanan yang dipraktikkan melalui ritual puasa.
Puasa jelas memberikan pendidikan ruhani kepada setiap orang, untuk menahan diri dalam segala hal (al-imsaaku 'ani asy-syai), apalagi sampai melakukan "makar" terhadap suatu pemerintahan yang sah. Puasa semestinya memberi dampak atas segala hal yang patut dijaga oleh setiap orang yang berpuasa secara benar, terhindar dari segala yang membatalkan ibadah yang dianggap paling tua tersebut.Â
Sekecil apapun yang akan mengganggu ritual puasa, pasti akan dihindari, terlebih hal-hal besar yang sangat nampak dan dilakukan secara sadar. Dalam mazhab Syafi'i saja, betapa banyak hal-hal sederhana yang harus dihindari, seperti berkumur-kumur di siang hari, membasahi kain untuk menutup kepala karena terik, bahkan hingga soal bekam menjadi hal-hal yang diperhatikan dalam konteks kesempurnaan berpuasa.
Jika muncul suatu semangat yang di galakkan secara politik untuk membuat suatu gerakan "people power" disaat mereka menjalankan ibadah puasa, bagi saya teramat sangat kontradiktif dengan semangat puasa itu sendiri.Â
Dilihat dari aspek bahasanya saja dimana puasa adalah "menahan diri dari segala sesuatu", maka gerakan dengan motif politik apalagi ingin menggulingkan pemerintahan yang sah, tidak saja menyepelekan maksud dan tujuan puasa, tetapi lebih jauh merusak dan menginjak-injak kesucian puasa itu sendiri.Â
Memang, sulit untuk dapat menjalankan puasa secara sempurna, namun paling tidak kita dapat menghindari hal sekecil apapun yang akan berpengaruh terhadap kesempurnaannya apalagi membatalkannya.Â