Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Menjadi Manusia Melalui Puasa

8 Mei 2019   16:11 Diperbarui: 9 Mei 2019   11:38 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nabi Muhammad sendiri malah pernah mengecam Abdullah bin Amr bin Ash karena berpuasa terus menerus setiap hari, hanya karena kecenderungan dirinya yang asketis tetapi malah melanggar nilai-nilai kodrati kemanusiaannya sendiri. 

"Siapa saja yang mengerjakan puasa terus menerus, hakikatnya ia tidak berpuasa" (Ahmad bin Hanbal: "Musnad"). Demikianlah teguran Nabi kepada Abdullah karena kecenderungan asketismenya yang terlampau berlebihan.

Puasa di bulan Ramadan yang diwajibkan kepada semua umat muslim yang beriman, tentu saja bukan melulu menjadikan seseorang lebih asketis, menjauhi dunia, atau bahkan mempertajam aspek spiritualitasnya seraya mengurangi aspek lahiriahnya. 

Peristiwa bulan Ramadan di mana disebut sebagai bulan diturunkannya Al quran, menjadi alasan paling kuat kenapa sepanjang 30 hari, manusia "diwajibkan" berpuasa memperingati keagungan kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Puasa, tidak selalu identik dengan sikap asketis, sekalipun memang dapat memengaruhinya. Islam tentu saja memberikan apresiasi atas nilai-nilai dunia akhirat agar keduanya dapat dipahami dalam seluruh kehidupan manusia. 

Itulah sebabnya, salah satu amanat didaktis yang mengandung ajaran Nabi Muhammad dalam nada Aristotelian yang benar-benar moderat, menyebutkan, "yang terbaik di antara kamu bukanlah yang mengabaikan dunia akhirat demi dunia ini, tetapi juga bukanlah yang sebaliknya. Yang terbaik di antara kamu adalah dia yang percaya kepada keduanya (man akhadza min hadzihi wa hadzihi).

Puasa ternyata memiliki seperangkat nilai etik-spiritual yang tidak saja mendorong "rasa" yang melahirkan aspek asketik sehingga seseorang menyadari kedudukannya sebagai manusia. Lebih dari itu, nilai keseimbangan hidup yang diajarkan Nabi Muhammad justru yang paling banyak ditemukan adalah melalui sikap berpuasa. 

Puasa meningkatkan rasa, mempertajam aspek humanisme melalui kesadaran bahwa kita "lemah" bahkan secara tidak langsung mendidik aspek filantrofis secara mekanik, melalui penerimaan nilai-nilai berpuasa ke dalam batin kita. 

Itulah kenapa, banyak kenyataan historis yang membicarakan manusia-manusia hebat karena sesungguhnya mereka adalah pribadi-pribadi yang sukses menyerap nilai-nilai asketik dari puasa ke dalam dirinya.

Bukan tidak mungkin, bahwa puasa jika benar-benar dipahami dan diartikulasikan secara tepat dalam aspek spiritualitas, akan memberikan dampak tersendiri terhadap diri kita, disadari maupun tidak. Namun yang jelas, dampak itu adalah aspek humanisme yang kuat, bahkan kerap kali mempertajam "rasa" bahkan memperkuat "insting" sosialitanya, sehingga puasa disamping mendidik secara pribadi, jelas dapat mendidik pihak lain karena kekuatan aspek spiritualitasnya. 

Puasa lebih banyak mendorong seseorang untuk lebih "memanusiakan" dirinya dan orang lain, sehingga jika dilakukan dengan baik, puasa mendudukkan manusia sebagaimana mestinya, manusia yang berakal, kreatif, dan berkasih sayang, bukan manusia yang mempertegas sifat kebinatangannya yang hanya ingin menang dan tak peduli bahkan tak punya rasa dengan lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun