Setiap bangsa di mana pun, tentu saja telah mengenal praktik puasa bahkan jauh sebelum suatu komunitas itu terbentuk secara sosial, puasa merupakan ritual yang telah melekat menjadi tradisi dalam hal mengkoneksikan seseorang dengan Tuhan, secara lahir dan batin. Itulah sebabnya, puasa satu-satunya ritual kuno yang juga dikenal oleh masyarakat primitif, terlebih masyarakat agama.
Dalam tradisi Islam, puasa itu "milik Allah, dan Dialah yang langsung membalas-Nya" (ash-shaumu li wa ana ajzi bihi). Oleh karenanya, nilai kesakralan puasa tampak lebih tinggi dibandingkan ritual-ritual dalam keagamaan lainnya, karena puasa seolah menjebol dinding penghalang sekaligus mendekatkan jarak antara seseorang dengan Tuhannya melalui puasa.
Seorang tokoh Mu'tazilah yang terkenal, Az-Zamakhsyari, dalam karya tafsirnya al-Kasyaf, mengupas sisi historis tradisi puasa sekalipun tidak mendetil.
Ia, misalnya, menyebutkan bahwa ritual puasa telah ada sejak Nabi Adam diciptakan Allah. Itulah sebabnya, Ali bin Abi Thalib memberikan ungkapan atas hal ini dengan menyatakan,
"Puasa merupakan ritual (ibadah) paling otentik (ashliyyah), sekaligus paling kuno (qadiimah)".
Puasa jelas merupakan ritual yang hampir tak pernah dilewatkan oleh sejarah kepercayaan umat manusia terhadap Tuhan semesta alam. Melalui puasa, seseorang berharap dapat menjadi lebih suci, lebih baik, bahkan lebih hebat ditengah masyarakat.
Secara umum, puasa tidak saja kegiatan menahan lapar dan haus sebagaimana yang belakangan ini paling banyak dipahami manusia. Namun, jauh dari semuanya, bahwa istilah "shaum" dalam bahasa Arab mengandung konotasi "meninggalkan makan, minum, nikah, dan berbicara".
Maka, istilah yang dipakai oleh bahasa Arab ini, menurut Ibnu al-Manzur, merupakan "kata benda yang menggabungkan banyak kata kerja" (ismun li al-jam'), di mana makan, minum, nikah, dan tidak berbicara merupakan rangkaian dari satu kegiatan berpuasa yang paling otentik.
Perkembangan puasa secara historis tentu saja mengalami perubahan dan hampir-hampir di era modern ini, puasa tak lebih dari sekadar menahan lapar dan haus, sulit menemukan sedikit saja dari nilai kesakralannya yang di masa-masa terdahulu benar-benar kuat mengikat dalam tradisi ritusnya.
Dalam sejarah agama-agama, puasa Yahudi barangkali satu diantara puasa yang juga diikuti oleh umat Muslim paling awal sebagaimana juga dipraktikkan Nabi Muhammad.
Puasa itu tentu saja yang dimaksud berpuasa pada tanggal 10 bulan Muharram (Asy-Syura) yang penuh dengan nilai-nilai sejarah kemanusiaan yang diadopsi dari ceritera para nabi terdahulu.
Misalnya, bahwa pada hari itu terdapat peristiwa penting dimana doa Nabi Adam diterima oleh Allah; selamatnya bahtera Nuh di bukit Zuhdi; diselamatkannya Nabi Ibrahim dari panasnya api, dan lain sebagainya. Puasa 10 Muharram tentu saja diikuti dan menjadi tradisi ritual agama yang dipraktikkan oleh umat Yahudi, Nasrani, dan juga Muslim sebelum kewajiban puasa di bulan Ramadan diterima Nabi Muhammad.
Selain Asy-Syura, ada tradisi puasa yang dilakukan "ahl al-injil" (para pengikut Injil) di masa lalu yang juga dilakukan pada bulan Ramadan tetapi dengan hitungan 50 hari, berdasarkan asumsi bahwa penambahan 20 hari sebagai pengingat atas peristiwa kematian dua orang raja mereka yang wafat di bulan tersebut.
Dalam ceritera lainnya, bahwa umumnya Ramadan selalu bertepatan dengan musim yang paling ekstrim---jika panas menyengat, jika dingin membeku---sehingga banyak masyarakat khawatir kesakralan puasanya terganggu, sehingga mereka kemudian menambahkan 20 hari sebagai "penebus" (kifarat) sekaligus menjaga nilai-nilai kesakralan puasa tetap hidup dalam tradisi ritual mereka (az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf).
Puasa juga telah menjadi ritual masyarakat Jawa bahkan diyakini sebagai ritual "elitis" yang dilakukan para raja dan keluarganya, wali, dan beberapa orang yang ingin memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat.
Puasa dalam tradisi Jawa tentu saja bukan sekadar menahan makan dan minum saja, tetapi jauh dari itu menahan segala kecondongan nafsu, termasuk nafsu birahi dan berkomunikasi.
Cerita orang-orang sakti di zaman dahulu, umumnya adalah mereka yang mampu bertirakat secara sempurna, berpuasa dalam arti yang sebenar-benarnya dan menjaga segala hal apapun yang akan merusak kesakralan nilai berpuasa saat mereka menjalankannya. Bertapa atau mengasingkan diri selalu diiringi dengan tidak makan, minum, dan tidak berbicara satu patah katapun kepada orang lain.
Apa yang disebut bertapa, tentu saja secara jelas diungkapkan Alquran ketika menceritakan Siti Maryam bernazar untuk berpuasa secara total dalam hidupnya.
"Saya bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini" (QS. 19:26).
Praktik berpuasa sebagaimana dilakukan Siti Maryam (Ibunda dari Nabi Isa) merupakan berpuasa dalam bentuk "bertapa" sebagaimana dalam ritual Jawa kuno.
Sebab, berpuasa tidak hanya sebatas menahan lapar dan haus, tetapi meninggalkan segala hal yang memcegahnya (bertapa) dan tidak berbicara dengan siapapun manusia dalam hal ini.
Ritual kuno yang bernama puasa itu tetap menjadi bagian dari nilai kebaikan abadi dalam masyarakat Muslim yang selalu diikuti sebagai kewajiban agama pada setiap tahunnya. Karena puasa itu berasal langsung dari Allah, maka tak ada istilah "pamer" (riya) dalam ritual yang satu ini.
"Tidak ada riya dalam berpuasa", demikian ungkapan Nabi Muhammad, seolah menegaskan bahwa hanya satu-satunya ibadah yang tak dihinggapi keinginan memamerkan kesalehan diri hanyalah puasa.
Jika dalam tradisi Islam dikenal salat, zakat, ataupun haji yang kerap mempertontonkan "riya" (rasa ingin dilihat orang lain kebaikannya), maka hal itu tak akan terjadi pada puasa.
Sekalipun Nabi Muhammad menegaskan bahwa tak ada riya dalam berpuasa, namun seolah belakangan ini menunjukkan kontrasnya: puasa menjadi suatu seremonial yang kadang dipertontonkan kepada pihak lain, melalui pengiriman gambar makanan di medsos, jadwal buka bersama, menuliskan atau mengunggah aktivitas ibadah di ruang medsos, dan lain sebagainya.
Kebanyakan ---jika tidak semuanya--- puasa lebih kepada menahan makan dan minum saja dan sekadar memindahkan jam makan dari pagi ke malam hari. Apakah pengaruh aspek globalisasi dan modernisasi ---terutama terpapar era medsos--- atau hal lainnya, seperti perlu penelitian lebih lanjut.
Mungkin saja fenomena nilai sakral berpuasa masih bisa ditemukan di masa-masa saya kecil dulu dan sangat jauh berbeda suasananya seperti berpuasa di beberapa tahun belakangan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H