Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Islam di Indonesia Pasca Suksesi: Mencari Kambing Hitam

23 April 2019   11:30 Diperbarui: 23 April 2019   11:32 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sejarah panjang politik Islam di Indonesia, selalu saja ada yang menyatukan berbagai perbedaan pandangan teologis: adanya kambing hitam. Sejak abad ke delapan belas, pemerintah kolonial memberlakukan berbagai tekanan politik terhadap Islam, bahkan dalam banyak hal mereka benar-benar memandang Islam sebagai kekuatan politik yang paling ditakuti. Wajar, jika kemudian pemerintah membuat banyak aturan yang membatasi ruang gerak Islam politik. 

Dari mulai kebijakan peradilan agama, pengawasan terhadap perkawinan dan pendidikan Islam, ordonansi guru, hingga pengawasan terhadap kas masjid dan ibadah haji, semata-mata diberlakukan demi membatasi aspek kepolitikan umat Islam. 

Perbedaan-perbedaan aliran teologis dan kebudayaan dalam Islam di Indonesia, berhasil disatukan dengan membuat kambing hitam bahwa Belanda merupakan "pemerintahan kafir" sehingga harus dilawan bersama-sama.

Jauh diwilayah luar Nusantara, abad ke sembilan belas dan awal abad kedua puluh, Barat mempersepsikan bahwa komunisme merupakan kambing hitam sehingga harus dilawan melalui cara-cara politik. 

Dibawah kendali Ronald Reagen, komunisme menjadi kambing hitam yang mendorong persatuan dunia Barat sehingga komunisme terpaksa bertekuk lutut dan mengalami kegagalan akibat sistem internalnya sendiri yang tidak efisien ditengah kuatnya arus kapitalisme global. 

Pendulum politik kemudian berubah, segera setelah komunisme mengalami kehancuran, dunia Barat mencari kambing hitam baru dan mereka menemukannya pada fundamentalisme Islam. Teroris-teroris Timur Tengah, Palestina, Libya, dan Syria dalam film dan pers Barat dijadikan musuh utama dalam kepentingan politik mereka.

Kekhawatiran atas apa yang digambarkan Barat sebagai gerakan fundamentalisme Islam, saya kira, sulit untuk diubah hingga saat ini. tidak salah, ketika Edward Said memberikan sketsa yang begitu sempurna dalam bukunya "Covering Islam" yang melukiskan betapa pers Barat seringkali berada dalam pengaruh-pengaruh kepentingan politik yang senantiasa memerlukan kambing hitam. 

Bukan suatu kebetulan, ketika fundamentalisme Islam diasumsikan sebagai penebar teror dan ketakutan sebagaimana tuduhan mereka kepada para pemimpin politik di Timur Tengah. Contoh paling konkrit barangkali perang Irak melawan Kuwait yang notabene ditunggangi Amerika Serikat dan didukung Perancis dan Inggris yang tentu saja memberikan keuntungan kepada Kuwait.  

Untungnya, Islam Indonesia memiliki kekhasan tersendiri yang sulit dianeksasi pihak asing, bukan karena sistem ideologi keagamaannya yang menancap kuat, namun---sebagaimana pandangan Wilfred Cantwell Smith---sebagai "satu-satunya kelompok Muslimin di dunia dewasa ini yang memiliki liberalisme pribumi yang kuat dan kuno". Islam politik di Indonesia sekalipun memiliki sejarah rangkaian yang panjang dalam mendapatkan berbagai macam tekanan politik---sejak masa kolonial bahkan berlanjut di era Orde Lama bahkan Orde Baru---tidak pernah sedikitpun meninggalkan jejak fundamentalis-nya yang dipandang sebagai musuh Barat secara politik.

Keunikan Islam di Indonesia barangkali sesuai dengan apa yang diungkap Smith, sebab memiliki "liberalisme pribumi yang kuat", dimana struktur budaya dan nilai yang telah lebih dahulu tertanam dalam benak masyarakat, serasi dengan nilai-nilai Islami yang dibawa oleh para penyebarnya terdahulu. 

Hal ini jelas dapat dibuktikan dalam berbagai kenyataan sejarah, betapapun umat Islam berpolemik dalam konteks politik-kekuasaan, namun hampir tak pernah terjadi konflik berkepanjangan atau perang saudara yang memecah-belah kekuatan-kekuatan politik Islam. Polemik tak lebih dari persaingan "aliran" ideologis yang berkutat pada masalah-masalah yang kurang prinsipil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun