Menempatkan pemilu sebagai pesta rakyat lima tahunan, tentu saja seolah berbanding terbalik dengan ketatnya persaingan politik yang hampir-hampir memiliki kesan seolah "perang".Â
Barangkali terdapat pertanyaan yang seringkali terlontar diantara banyak pihak: apakah suasana politik yang sedemikian tidak ramah diakibatkan oleh kenyataan hanya diikuti dua kandidat yang berkontestasi?Â
Mungkin saja ada benarnya dan akan sangat berbeda suasananya ketika tiga atau empat kandidat politik yang terjun berkontestasi dalam pemilu besok ini. Penggambaran pesta rakyat dalam setiap pemilu sepertinya kabur, berubah seolah "perang puputan" yang harus rela mengorbankan diri bahkan bila perlu nyawa menjadi taruhannya.
Barangkali hampir kita tak pernah merasakan suasana pesta rakyat yang tidak gembira seperti pemilu kali ini. Pemilu tentu saja "menggembirakan" bagi sebagian pihak, sebab order jutaan spanduk, poster, percetakan, jasa pemasangan, iklan, memberikan kegembiraan tersendiri bagi para pebisnis musiman.Â
Tidak hanya itu, trilyunan rupiah bertebaran dalam bentuk amplop atau bantuan-bantuan sosial, belum lagi "salam tempel" yang diterima oleh sebagian orang yang dipandang sebagai tokoh masyarakat.Â
Pesta ini seharusnya sangat menggembirakan, sebab selama lima tahun banyak orang yang menunggu kebanjiran order dan menerima "bingkisan politik" yang tanpa diduga-duga.
Disisi lain, suasana pemilu kali ini mungkin menjadi suatu ajang pertaruhan kekuasaan yang dilakukan dengan cara jungkir balik. Para kandidat secara ketat bersaing mempertontonkan kekuatan massa pendukung (people power) yang masing-masing "disombongkan" melalui ajang kampanye terakhir di Gelora Bung Karno, Jakarta.Â
Dinding-dinding medsos penuh dengan kesombongan yang memilukan, mempertontonkan "unjuk rasa" masing-masing pendukung yang tentu saja bukan merupakan gambaran utuh hasil perolehan suara. Mereka rata-rata sekadar menunjukkan simpatisannya kepada salah satu kandidat dengan yel-yel, atribut, gestur, dan realitas simbolik dalam suasana kegembiraan sekaligus "kesombongan".
Pesta rakyat yang semestinya mampu membuat gembira banyak pihak, ternyata menyimpan bahaya "laten" kecurigaan ideologi, agama, bahkan konflik dan perpecahan. Tak ayal, para tokoh agama---dalam hal ini ulama---ikut memoles para kandidat supaya lebih agamis, tidak saja berupa dukungan verbal  dari para ulama selebritis, namun juga beredar penggalan-penggalan visual yang mempertontonkan drama-drama mistik-spiritual, sampai-sampai gambaran salah satu kandidat yang masuk kedalam Ka'bah di Mekah, seperti ikut menjadi "pembenar" dalam rangkaian pesta rakyat. Seolah muncul pertanyaan, ini pemilu atau tarekat?
Pertaruhan politik ternyata tak harus rasional, sebab Indonesia masyarakatnya masih sangat-sangat tradisional, sehingga polesan-polesan keagamaan berbau mistik dapat sedikit banyak menjadi ajang pembenaran tradisi politik.Â
Lihat saja, poster-poster yang bertebaran di medsos, masing-masing kandidat diapit oleh tokoh-tokoh spiritual dimana seolah-olah mereka didukung oleh para "wali" yang siap mati-matian berebut kekuasaan politik.Â