Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Religius "Nishfu Sya'ban" di Indonesia

12 April 2019   11:48 Diperbarui: 14 April 2019   15:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian kalangan Islam "modernis", bentuk tradisi apapun yang dianggap tidak berasal dari ajaran Islam, disebut sebagai "budaya luar" yang diada-adakan bahkan tak jarang dicap sebagai bentuk bid'ah dan khurafat yang menyimpang dari ajaran agama Islam. 

Pandangan ini, tak jauh berbeda dengan kalangan misionaris Belanda yang sangat simplistik memandang orang Islam di Indonesia, sebagaimana dikatakan Poensen (1886), "yang mereka ketahui tentang Islam tidak lebih dari sunatan, puasa, daging babi itu haram dimakan, adanya grebeg besar dan grebeg mulud, dan beberapa hari raya lainnya".

Cara pandang yang terlampau simplistik ini tentu saja mengabaikan aspek-aspek yang lebih "fundamental" dalam melihat konstruksi peradaban Islam, yang dirajut oleh berbagai tradisi, dialektika dengan budaya lokal, dan unsur-unsur lain yang menopangnya. Maka, dalam bahasa yang lebih teoritis, Marshall G.S Hudgson menyebutnya sebagai "kesinambungan kultural" sebagai wujud  dialektika agama dan peradaban. 

Islam sebagai "agama" tentu saja memiliki tradisi religius dengan segala keanekaragamannya, bahkan telah mempertahankan suatu integritas tertentu yang lebih nyata, katakanlah dibanding dengan agama Kristen dan Budha. Itulah sebabnya, Islam di Indonesia memiliki akar-akar kesejarahan atau "kesatuan religius" yang lebih jauh melampaui tidak saja dalam bentuk keyakinan agamanya namun dalam tindakan kehidupan mereka sehari-hari.

Tradisi religius "nishfu sya'ban" (pertengahan bulan Sya'ban) dan banyak juga tradisi-tradisi semacamnya, memiliki akar keagamaan yang cukup kuat menginduk suasana historis perkembangan mistisisme Islam di Indonesia bahkan sejak abad ke tujuh belas. 

Suatu kumpulan risalah pendek, (Majmu'ah) kemunginan ditulis oleh ulama sufi kenamaan, Abd Al-Ra'uf Singkel, memuat persoalan-persoalan tradisi mistik dari mulai teks sufi dan teks ilmu ghaib, tentang nama-nama Allah dan khasiat magisnya, tentang hari-hari keberuntungan dan hari-hari nahas, tentang ilmu nujum dan alkimia, dan tentang "nishfu sya'ban" (tentang hal ini, Martin Van Bruinessen telah melakukan penelitian dalam disiplin filologis, "Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia", tahun 1992).

Memang, harus diakui, terdapat banyak kritik dari kalangan "modernis" atau "fundamentalis"? yang kemudian melakukan suatu gerakan pembaruan Islam di awal abad kedua puluh yang secara terbuka menyerang berbagai tradisi religius di kalangan masyarakat Indonesia, akibat pengaruh politik Timur Tengah, terutama setelah melemahnya kekuasaan Turki Utsmani. 

Sekalipun, tradisi-tradisi semacam ini---yang kemudian membudaya dalam masyarakat muslim Indonesia---juga diperkenalkan oleh para haji Nusantara yang lama bermukim di Timur Tengah. Kemungkinan besar, tradisi seperti "nishfu sya'ban", mulud, atau hari-hari besar keagamaan lainnya diperkenalkan oleh para pegiat tarekat yang banyak berjasa dalam mengubah praktik pagan masyarakat Nusantara.

Tidak hanya itu, istilah "nishfu sya'ban" kemungkinan mulai dipopulerkan oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga banyak meriwayatkan hadis, bernama 'Ikrimah bin Abu Jahl. 'Ikrimah menjadi muslim ketika peristiwa Fathu Makkah dan wafat ketika berjihad di masa khalifah Abu Bakar Sidiq. Ikrimah ketika menafsirkan kalimat, "Inna anzalnaahu fii lailatin mubaarokatin" (sesungguhnya Kami menurunkan (al-Quran) pada malam yang diberkahi) yang ada dalam surat ad-Dukhan ayat 3, dimana "lailatin mubarakatin" dimaknai sebagai "malam Nishfu Sya'ban". 

Sekalipun pendapatnya melawan arus utama para penafsir lainnya---yang kebanyakan berpendapat Alquran turun pada malam bulan Ramadan---namun, pendapat Ikrimah tetap dikutip dalam berbagai kitab tafsir, sebagai bagian dari khazanah keilmuan dalam perbedaan tafsir.

Memang, tidak ada---atau mungkin saya belum menemukan---bahwa tradisi "nishfu sya'ban" yang kemudian menjadi semacam "ritual" yang dipraktikkan sebagian masyarakat muslim Tanah Air dengan "menghidupkan" malamnya melalui bacaan doa, dzikir, atau ritual tertentu yang merujuk pada praktik muslim awal di masa Nabi Muhammad. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun