Sudah teramat banyak tulisan-tulisan mengenai Muhammad Nawawi bin Umar (1813-1897)---selanjutnya disebut Syekh Nawawi Banten---baik dari sisi pemikiran melalui rekonstruksi wacana atas berbagai karyanya yang tersebar dalam beragam disiplin keilmuan: tafsir, fikih, tasawuf, atau tauhid---atau sketsa historis mengenai pemikirannya melalui transmisi keilmuan ulama Timur Tengah, bahkan hingga nasab dan silsilahnya yang kemudian dihubungkan dalam konteks sosial-politik.Â
Sekalipun saya belum menemukan penelitian tentang naskah-naskah aslinya dalam disiplin filologis---kecuali tentang kajian tafsirnya "marah labid"---namun, sosok yang dikenal "sayyid al-ulama al-hijaz" ini selalu menjadi figur yang "diperebutkan" sebagai ulama nusantara yang mendunia.
Syekh Nawawi Banten adalah ikon ulama Nusantara abad sembilan belas yang memiliki citra khas tersendiri bagi mereka yang pernah belajar kepadanya, bahkan Scouck Hurgronje pernah beberapa bulan berada di Mekah hanya untuk mengetahui lebih jauh ulama Jawa yang kesohor ini.Â
Laporan Snouck bagi saya menarik, terlebih ia waktu itu, merupakan penasihat Belanda untuk urusan-urusan keagamaan di Indonesia sebelum merdeka. Bukan tidak mungkin, latar sosio-politik yang mendorong Snouck bertemu dengan Syekh Nawawi adalah dalam rangka mencari fakta soal koloni Jawa di Mekah---umumnya orang-orang Jawa yang berhaji---sebab, haji berdampak luas terhadap kondisi sosial-politik Nusantara, sehingga pihak Belanda sangat berhati-hati dengan umat Islam.
Tidak seperti dengan ulama lainnya yang sekadarnya bertemu lalu berkorespondensi, Snouck justru melakukan tatap muka langsung dengan Syekh Nawawi dan banyak berdiskusi soal keagamaan, sosial dan politik, khususnya terkait perkembangan Islam di Nusantara.Â
Dalam bukunya, "Mecca in the Latter Part of the 19th Century" yang dikutip Karel Steenbrink, Snouck memberikan deskripsi yang begitu lengkap dan jujur mengenai sosok ulama Jawa yang kharismatis ini.Â
Kesannya sebagai seorang asketik, diungkapkan Snouck ketika menilai Syekh Nawawi dari caranya ia memperlakukan dirinya sendiri. "Nawawi adalah contoh hidup untuk menunjuk kesulitan yang dialami orang Jawa", ini merupakan kesan Snouck yang mendeskripsikan begitu sangat sederhananya seorang ulama besar yang sedemikian dihormati, baik di Hijaz terlebih di negerinya sendiri.
Sudah menjadi hal yang teramat lumrah, bahwa pribadi ulama kebanyakan asketis, bukan hanya karena nilai-nilai keislaman yang sedemikian hidup dalam batinnya tetapi juga bagian dari replika keteladanan ulama ortodoks di abad-abad pertengahan.Â
Guru-guru Syekh Nawawi tentu saja para ulama asketis: Yusuf Sumulaweni, an-Nahrawi, serta Abdul Hamid ad-Daghastani yang kesemuanya berasal dari Mesir disamping ulama Nusantara lainnya, seperti Khatib Sambas dan Abdul Ghani Bima.
Salah satu bukti bahwa nilai asketis itu "hidup" dalam diri Syekh Nawawi sebagaimana deskripsi Snouck yang menyebutkan, "jelas sekali, bahwa keistimewaan ulama kita ini terletak pada kekuatan penanya bukan lidahnya. Dia menyadari kekurang tertibannya dalam bahasa lisan, sehingga dia sendiri tidak mementingkan pakaiannya. Badannya ditutup oleh dengan pakaian yang kehilangan warna, dengan 'kain keringat' di atas kepalanya. Badannya yang terbengkok memperlihatkan orang lebih kecil dari kenyataannya".
Ciri khas dari orang Islam Indonesia adalah kesederhanaan dan kebersahajaan, bahkan hampir-hampir orang Indonesia yang pada waktu itu pergi haji bukanlah semata-mata karena kemampuan dirinya berhaji, tetapi karena memang keyakinannya atas rahmat Allah yang senantiasa memberkati.Â