Konteks politik tentu saja menarik perdebatan ini menjadi lebih sengit, terlebih di saat suhu politik memanas menjelang Pilpres 2019. NU kemudian dituduh sebagai kelompok oportunis, liberalis, dan masih banyak tuduhan lainnya yang sarat nuansa kepentingan politik. NU yang sejauh ini dekat dengan Jokowi, lalu "dihabisi" oleh kelompok-kelompok penentangnya.
Saya justru melihat, mereka yang menuduh NU berpolitik dengan fatwa "kafir" memang sejauh ini merupakan pendukung Prabowo, sehingga sulit dilihat dalam konteks diskursus agama yang lebih mengedepankan nalar keagamaan.
Yang ada justru ada semacam upaya pengalihan isu politik, dimana NU dituduh akan mengamandemen ayat Alquran dengan mengganti "kafir" dengan "non-muslim".
Bagi saya ini sangat berlebihan, terlebih banyak yang tidak memahami secara lebih jauh, bagaimana istilah "kafir" ini dapat dibagi secara teologis maupun sosiologis.
Untuk lebih memahami diksi ini memang terlampau sulit, sebab, kebanyakan jika ingin melihat konteks "kafir" secara lebih komprehensif harus merujuk pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
Sebagai bahan perbandingan, menarik saya kira jika kita menelusuri makna "kafir" yang lebih luas, sebagaimana ditulis oleh Ibnu al-Mandzur dalam kitabnya, "Lisan al-'Arab".
Dalam kitab ini dikupas makna "kafir" secara etimologis dalam konteksnya yang beragam, sehingga kita lebih memahami apa dan bagaimana kafir ketika bersentuhan secara teologis maupun sosiologis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI