Melalui pemaknaan yang lebih bernuansa esoteris, Kiai Sholeh menafsirkan makna "aqiimu as-shalaata" dengan "arep andadeaken siro ing solat mi'raj sira ila al-Haq, lan arep dawam munggah sira tumeka maring maqam musyahadah".Â
Salat ditafsirkan sebagai maqam paling tinggi setiap muslim, sebab salat merupakan "mi'raj" (naiknya) seseorang ke level yang lebih tinggi. Salat dalam pengertian biasa hanyalah sebatas "wishal arru'yah" (memutus hubungan dengan entitas keduniaan lalu berkontak secara batin dengan Tuhannya). Maka, Kiai Sholeh menuntun agar salat menjadi ada dalam posisi tertinggi, setelah mi'raj dilanjutkan dengan musyahadah (kesaksian secara kuat dan yakin bahwa Tuhan hadir dalam dirinya dan sebagian hijab yang menutupinya diungkap).
Kiai Sholeh bermain dalam wacana tasawuf ketika dirinya membedah makna salat. Sebagaimana diketahui, dalam konteks salik (seseorang yang menjalani disiplin spiritual untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya), terdapat tiga maqam (level) yang akan dilalui para salik.Â
Pertama, maqam muhaadlirah, dimana seseorang mampu membuka mata hatinya untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, sekalipun belum mampu menyingkap hijab yang ada dalam dirinya. Yang kedua, lebih tinggi karena hijab yang menutupi mata batinnya mulai terkuak sebagian dan kondisi ini masuk kategori "maqam mukaasyafah". Level tertinggi (wishal al-a'la) tentu saja apa yang dimaksud Kiai Sholeh sebagai "musyahadah" dimana seseorang sukses melewati dua maqam sebelumnya.
Orang-orang yang sukses menjalankan dimensi salatnya dalam level tertinggi "musyahadah", Kiai Sholeh lalu memasukkan mereka dalam kategori sebagaimana disebut Alquran sebagai "khairul bariyyah" (seutama-utamanya makhluk ciptaan Allah bahkan lebih utama dari para malaikat), sebaliknya mereka yang tidak menjalankan salat termasuk kategori "syarrul bariyyah" (seburuk-buruknya makhluk ciptaan Allah).Â
Menarik ketika dirinya menafsirkan bahwa salat tertinggi dari level seseorang masuk dalam kategori "khairul bariyyah", sebab hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Abu Hurairah, dimana seorang mukmin lebih mulia disisi Allah dibanding sebagian malaikat yang ada di sisi-Nya sekalipun. Maka, tepat dengan apa yang dikatakan Nabi Muhammad, bahwa salat adalah "mi'raj" nya orang-orang yang beriman.
Hampir dipastikan, penafsiran para ulama Nusantara di masa lalu, sangat menyentuh dimensi esoteris dalam banyak hal. Mereka berupaya untuk membentuk realitas ibadah tidak sekadar menjalankan ritual semata, tetapi mengolah sedemikian rupa, agar ibadah lebih bernilai sehingga berdampak luas pada setiap prilaku orang-orang yang menjalankannya.Â
Salat tidak lagi dipandang sebatas ikhtilaf, soal bagaimana mengangkat tangan saat takbir, bagaimana cara duduk yang benar, bagaimana caranya bertasyahud, atau bagaimana setelah salat selesai, berdzikirkah secara lantang atau berjabatan tangankah.Â
Kiai Sholeh justru mencoba keluar dari dimensi ritual menuju dimensi spiritual agar salat lebih dipahami dan dihayati sesuai suasana batin, bukan menudukkan salat dalam makna lahiriyah, sebagaimana dipahami sebagai gerakan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Jadi, luruskan niat kita ketika hendak salat. Bersihkan hati kita dari keterikatan apapun denga urusan-urusan dunia. Mulai buka mata batin kita agar hijab yang menghalangi mata batin kita terhadap Tuhan dibukakan, melalui kepasrahan dan ketundukan kepada hanya Satu Dzat Allah.Â
Salat merupakan proses pertemuan hamba dengan Tuhannya yang hanya dapat dilalui melalui kebersihan hati, kekosongan pikiran, dan kesucian jiwa. Tanpa itu, salat hanya sebatas ritual yang tak ada bekas apapun, bahkan terhempas oleh kesibukan kita dalam hal-hal keduniaan.Â