Mungkin banyak yang tidak terlalu peduli tentang sejarah Islam di Nusantara di mana banyak terdapat para ulama mumpuni dengan misi keislamannya mendorong terbukanya cakrawala berpikir keumatan waktu itu.Â
Di tengah tekanan politik bangsa asing yang menjajah Nusantara, para ulama lahir dan menyuarakan kepeduliannya tentang agama, sosial, dan politik melalui penulisan berbagai karya yang kaya akan disiplin keilmuan agama. Fikih, Akhlak, Tasawuf, bahkan tafsir telah hadir mewarnai khazanah pemikiran Islam di Nusantara sejak awal abad 19.Â
Jika dulu dikenal tafsir Alquran 30 juz "Tarjuman al-Mustafid" yang ditulis oleh Abd ar-Rauf al-Sinkiliyy (1615-1693), lalu lahir tafsir dengan bahasa Jawa yang ditulis ulama kenamaan KH Muhammad Sholeh Darat "Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan"Â atau "Faidlur Rahman".
Kiai Sholeh Darat menulis tafsirnya ini diperkirakan dimulai sejak 1892 atas permintaannya salah satu muridnya, RA Kartini. Edisi cetakan pertama kitab ini yang berisi 503 halaman yang berisi tafsir surat al-Fatihah dan al-Baqarah dan ditulis dalam bahasa Jawa dicetak oleh percetakan asal Singapura, HM Amin, pada 7 November 1893.Â
Inilah satu-satunya kitab tafsir Alquran yang ditulis dalam bahasa Jawa, sehingga memudahkan setiap orang membaca dan memahaminya. Ditengah gelap gulitanya masyarakat oleh "kebodohan", Kiai Sholeh membuat satu terobosan agar masyarakat mampu memahami bagaimana tata cara syariat beragama itu dijalankan.
Lalu, kenapa Kiai Sholeh mau mengikuti keinginan seorang wanita yang pada zaman itu kedudukannya jelas menjadi kelas dua dalam strata sosial? Dorongan Kiai Sholeh tentu saja adalah ketulusan niat tanpa melihat siapa yang meminta, sehingga dalam kurun waktu enam bulan, karya tafsir dalam bahasa Jawa ini selesai dituliskan.Â
"Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami", demikian kegelisahan Kartini terjawab setelah Kiai Sholeh genap menyelesaikan karya tulisnya yang pertama.
Banyak sekali karya Kiai Sholeh Darat yang tersebar dalam beragam disiplin keilmuan, diantaranya "Majmu' Syariah al-Kafiyat lil Awam" (280 halaman); "Tarjamah Sabilul Abid ala Jauharotut Tauhid" (400 halaman); "Kitab Munjiyat, Methik Saking Ihya Ulumiddin" (196 halaman); "Matan Al-Hikam" (152 halaman); "Lathoifut Thoharoh wa Asrorus Sholat" (96 halaman), dan masih banyak yang lainnya.Â
Guru dari ulama besar Nusantara, KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan ini hidup dengan penanya yang tajam dan ulasan-ulasannya soal kedalaman makna batin Islam yang membangkitkan selera keilmuan banyak para muridnya. Perjuangannya melawan kekuasaan politik, ia lakukan melalui ijtihad-nya sebagai ulama, memberikan dorongan semangat keagamaan agar umat mampu berpikir secara baik, bagaimana semestinya melawan kebodohan dan penjajahan.
Bagi Kiai Sholeh, salat merupakan satu-satunya alasan terpenting bagi tegaknya agama Islam. Memahami praktik salat secara baik dan benar, akan berdampak pada seluruh sikap dan prilaku seseorang yang benar-benar memahami sisi batin salat, tidak hanya sekadar praktik ritualitas.Â
Dalam dua kitabnya yang ditulis, Tafsir Faidlur Rahman dan Lathoifut Thoharoh wa Asrorus Sholat menjelaskan secara saling melengkapi, bagaimana salat dapat memenuhi dimensi esoteris seseorang. Ia ketika menjelaskan makna kalimat, "wa aqiimu as-shalaata" (dan dirikanlah salat) dengan "lan podo njumenengono siro ing solat limang watu coro lakune solate wong islam".