Saya memang hidup dalam sebuah keluarga yang sangat menghargai tradisi, terutama tradisi yang bagi saya tidak melenceng dari nilai-nilai islami. Entah apakah kebetulan saya dibesarkan dilingkungan keluarga NU yang getol menjaga warisan tradisi dan budaya dan cenderung tak mempertentangkannya dengan ajaran agama, ataukah memang cara mendidik keluarga saya agar saya tidak menjadi sosok yang anti tradisi. Bagi saya, tradisi yang baik pasti berdampak baik dalam hal pelestarian nilai-nilai kasih sayang bagi sesama dan tidak merusak, menggusur, atau tertukar dengan budaya lain yang cenderung mengubah watak asli budaya itu sendiri.
Belakangan banyak sekali budaya yang tertukar, dimana bagi sebagian orang ada yang beranggapan ketika melihat budaya Arab dianggap sebagai Islam atau sebaliknya. Maka tak heran ketika soal  gamis, jenggot, sirwal (celana syar'i), niqab (cadar), imamah (sorban penutup kepala), dan masih banyak yang khas budaya Timur Tengah dianggap budaya Islam yang dipraktikkan oleh beberapa masyarakat Indonesia.Â
Padahal, kita memiliki budaya sarung, peci, sorban, kerudung, blangkon, yang telah lebih dulu menjadi tradisi baik dan menjadi ciri khas budaya kita sendiri. Pada kenyataannya, teori konspirasi itu tetap patut dicurigai---untuk tidak disebut diyakini---menjadi bagian terpenting dari suatu propaganda budaya dalam bentuk importasi tradisi atau ideologi yang dibawa melalui ajang pertukaran-pertukaran pelajar atau perihal lainnya yang sejenis.
Kita memang sulit untuk menjadi tertutup dari beragam artikulasi budaya lain yang ikut menghampiri dan tak mungkin juga hidup seolah katak dalam tempurung yang tidak tahu apa-apa. Proses pertumbuhan manusia itu selalu berubah dari generasi ke generasi dan tak luput dari berbagai tradisi dan budaya yang diikuti. Perubahan tentu saja wajar, pergeseran nilai, tradisi, dan adat tentu saja tak mungkin dibendung karena realitas kemanusiaan akan terus berkembang mengikuti alur perubahan zaman.Â
Sadar maupun tidak, menerima ataupun menolak, pertukaran budaya itu kerap kali terjadi, bahkan seringkali melampaui ekspektasi kita sendiri. Namun, jika budaya kita sendiri tercerabut dari akarnya dan digantikan budaya lainnya, masihkah kita disebut Indonesia? Itulah barangkali hal-hal yang dipikirkan jauh-jauh hari para founding fathers kita yang secara bulat menyepakati Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara agar akar tradisi dan budaya kita tak tercerabut dan ditukar budaya bangsa lainnya.
Budaya bagi saya semacam jati diri, kekhasan, identitas nasional yang tak boleh ditukar oleh budaya apapun, sekalipun budaya itu dianggap lebih baik. Budaya yang melekat dalam setiap jati diri anak bangsa adalah kewarasan berpikir, bukan hal kebiasaan ikut-ikutan tanpa didasari oleh cara berpikir, berprilaku, dan berbuat seperti yang ditunjukkan oleh budaya tertukar selama ini.Â
Nilai kasih sayang yang selama ini hidup dalam dimensi paling luas, menjadi entitas budaya yang diakui secara bersama, lalu terdistorsi oleh momen Valentine dan ditukar oleh sebungkus cokelat yang diikat inisial ikon berbentuk hati merah muda dan hanya dilakukan pasangan yang kasmaran. Ah, ternyata tidak hanya doa yang tertukar, karena budaya pun sepertinya banyak yang tertukar di negeri ini. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H