Banyak diantara ceramahnya yang tersebar di laman media sosial menunjukkan secara tegas bahwa dirinya menganut mazhab Syafi'i yang cenderung luwes, terbuka, sekalipun berprinsip "ihtiyath" (terlampau berhati-hati).Â
Tradisi Sunni yang sejauh ini dipraktikannya dan tampak nyata dalam berbagai ceramah agamanya, sulit rasanya menempatkan UAS dalam barisan oposisi secara politik. Tradisi politik Sunni lebih umum bercirikan sikap akomodasionis terhadap kekuasaan dan bukan sebaliknya.
Sekalipun saya kurang sepakat ketika sikap UAS mengunjungi para ulama kharismatis dinilai sebagai bentuk dukungannya secara politik kepada petahana, namun paling tidak ada upaya dirinya mencoba membangun suasana politik lebih cair dan memposisikan bahwa pemerintah merupakan mitra politik yang harus didukung bukan terus dikritisi bahkan dipersalahkan.Â
Merajut kembali secara lebih dinamis hubungan ulama-umara, tak selalu harus dipersepsikan bahwa seseorang harus bersikap akomodatif atau bahkan mendukung apapun setiap kebijakan pemerintah.Â
Barangkali, sikap ini ditunjukkan UAS melalui safarinya, dimana ia tak harus secara terbuka memberikan dukungan politik, namun cukup dengan penegasan kembali atas tradisi dimana seorang kiai harus akomodatif, termasuk dalam hal politik dan keagamaan.
Kiai tak lagi melulu dipahami sebagai "cultural broker" yang hanya dimanfaatkan dalam momen-momen tertentu seperti berdoa untuk kemenangan atau pemberi atas restu salah satu kandidat politik, namun kiai dapat difungsikan menjadi "political broker" sebagai medium perekat antarfaksi politik atau kepentingan politik yang saling bertentangan.Â
Sebagai bagian dari "makelar politik", kiai tak harus menunjukkan dirinya sebagai pendukung salah satu kubu atau dicitrakan sebagai bagian dari mereka, namun dalam banyak hal, ia dapat berfungsi menjadi jembatan yang dapat menghubungkan banyak relasi sosial politik-keagamaan yang saling bertentangan untuk disatukan dalam konteks yang lebih besar sebagai wadah bersama dalam membangun realitas negara-bangsa.
Dalam konteks Pilpres dan lebih tepatnya pemilu, UAS barangkali dapat disebut sebagai kiai dalam hal "political broker" dengan tanpa harus ditunjukkan secara politik mendukung salah satu kubu yang berkontestasi, namun ia tetap menjalankan fungsinya sebagai "perantara budaya" dalam hal membangun kesadaran bersama betapa pentingnya membangun relasi-relasi keulamaan melalui tradisi sowan yang mungkin tampak terpinggirkan akibat realitas tajam perbedaan politik.Â
Banyak mereka yang dianggap sebagai tokoh masyarakat atau bahkan kiai dan ulama yang justru gagal menjalankan fungsi tradisinya karena terlampau kaku dalam melihat konstruksi politik.Â
Apapun yang saat ini dijalankan UAS, itu menjadi tradisi baik secara sosial, politik, terlebih agama. UAS benar-benar menjalankan fungsinya sebagai kiai yang independen secara politik, namun terikat dan dekat secara tradisi keagamaan, sosial, dan juga budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H