Hampir dalam setiap kontestasi politik, ada saja gerakan-gerakan tertentu yang cenderung keluar dari suatu mainstream politik, entah itu kelompok oposisi atau mereka yang mengidentifikasinya sebagai bagian golput. Pilpres merupakan momen terpenting dimana banyak gerakan sempalan politik berserak, mereka bisa berada di ruang-ruang media sosial, diskusi-diskusi internal, atau sekadar menjadi penggembira namun kritis yang hidup menyatu dengan kelompok-kelompok sosial-politik.Â
Fenomena sempalan politik memang bukan suatu hal yang baru, sekalipun istilah sempalan seringkali dipakai dalam konteks teologis dalam melihat sekte keagamaan tertentu yang tak sejalan dengan mainstream (arus utama) dan ortodoksi.
Sempalan sendiri merupakan satu istilah yang dipopulerkan KH Aburrahman Wahid (Gus Dur), dimana ketika itu marak gerakan anti-mainstream yang mewujud dalam kelompok-kelompok sektarian yang menyimpang dari ajaran Islam. Gerakan sempalan tentu saja hasil penilaian sekaligus pengklasifikasian "sepihak" ketika mayoritas umat -atau lebih spesifik mayoritas ulama ortodoks- yang mencap mereka yang anti-mainstream sebagai "aliran sesat".Â
Penyebutan "mainstream" dan "ortodoksi" nampaknya menjadi penentu dalam mempertegas definisi sempalan, bahkan erat kaitannya dengan politik, dimana pada umumnya paham keagamaan yang mainstream yang "ortodoksi" tentu diakui dan dilegitimasi sepenuhnya oleh penguasa.
Mungkin saja istilah sempalan saat ini sudah menjauh dari konteksnya, karena sudah tak lagi cocok dengan zamannya. Istilah lain barangkali menggantikan definisi sempalan yang diartikulasikan secara teologis, seperti fundamentalis, radikalis, atau teroris. Istilah "radikal" juga seolah dibuatkan definisi baru secara lebih luas merunut pada hasil kolaborasi penguasa dan aliran mainstream keagamaan lainya, yang dalam banyak hal juga terkait kecenderungan politik.Â
Mereka yang dianggap tak setia kepada NKRI, atau dalam batas tertentu mendukung syariat Islam, atau bahkan yang terlampau kritis terhadap penguasa, rentan diinisiasi sebagai "gerakan radikal".
Istilah-istilah yang mengarah pada suatu gerakan "sempalan politik" tampaknya cenderung menguat, terutama ditengah momentum Pilpres yang semakin dekat. Gerakan sempalan politik mungkin saja mewujud dalam bentuknya yang formal, seperti parpol oposisi atau informal seperti ormas "garis keras" atau mungkin golput. Bukan suatu kebetulan nampaknya, bahwa penguasa menggandeng ormas keagamaan yang dinilai cocok dengan persepsi keagamaan mereka sekaligus bentuk legitimasi atas apa yang mereka lakukan sejauh ini dalam konteks besar aktivitas politik sehingga memiliki dukungan teologis dari para ulama-ulama mainstream dan ortodoks.
Pencarian legitimasi politik lewat kelompok mainstream keagamaan setidaknya sangat dapat dirasakan, ketika maraknya mobilisasi ulama "sarungan" yang secara massif memberikan dukungan politiknya secara formal kepada pihak penguasa.Â
Apakah  hal ini terkait dari salah satu kandidatnya yang memang bersarung? Saya kira mungkin saja, dimana hal ini sangat wajar dalam konteks luas dukungan politik, ketika ulama mereka justru ada dalam lingkaran kompetisi yang harus didukung. Kelompok sempalan politik tentu saja menganggap ada upaya perselingkuhan politik antara kelompok mayoritas Islam ini dengan penguasa yang mungkin saja berdampak pada ulama lainnya yang tidak sependapat untuk "keluar" dari gerakan mainstream.
Jika definisi "sempalan" lebih kepada soal dikotomisasi antara "kebenaran" dan "kesesatan", maka "sempalan politik" adalah suatu aliran politik yang seringkali kritis terhadap penguasa dengan membuat pernyataan-pernyataan politik yang kontra penguasa dan dianggap "kebenaran" oleh mereka. Perdebatan di ranah publik seringkali memperlihatkan kontroversi menyangkut berbagai hal terutama dalam hal apa yang dianggap "benar" dan "sesat" oleh kedua belah pihak.
Perdebatan tertentu seperti, anggaran negara bocor sekian persen, kementrian pencetak utang, jumlah persentase rakyat miskin, seolah menjadi perseteruan abadi dalam konteks politik yang kontroversial bahkan dikotomis dalam hal "kebenaran" dan "kesesatan". Siapa yang benar dan siapa yang sesat, ternyata masing-masing memiliki argumentasinya sendiri-sendiri yang sama-sama diklaim sebagai suatu kebenaran politik.Â
Gerakan sempalan politik seperti menemukan momentumnya pada Pilpres kali ini, dimana perlawanan mereka yang cukup kuat juga mulai dibalas dengan beragam konotasi politik lainnya yang mengatasnamakan penguasa.
Jika mungkin boleh dipetakan, bahwa gerakan-gerakan mainstream dalam hal keagamaan yang saat ini ada seperti MUI, Syuriah NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan lainnya, ternyata juga melahirkan gerakan-gerakan sempalan politik didalamnya. Tak semua orang NU mendukung penguasa yang saat ini mayoritas diantaranya mendukung petahana dan secara langsung ingin mengantarkan petahana menang dalam Pilpres kali ini.Â
Di MUI juga kurang lebih sama, bahwa ada gerakan sempalan politik yang dikenal sebagai GNPF yang tetap eksis menyuarakan sikap kritisnya terhadap penguasa. Muhammadiyah tak jauh beda, gerakan sempalan politik barangkali sudah lebih dulu ada dan beberapa tokohnya justru corong utama paling keras dalam mengkritik penguasa.
Membaca berbagai gerakan sempalan politik memang semakin menarik, terutama ditengah dominasi ulama ortodoksi yang mapan justru memberikan dukungan politiknya kepada penguasa. Seolah-olah dukungan politik ini dikaitkan dengan kekhawatiran mereka akan gerakan "sempalan agama" yang anti-mainstream dan menyimpang secara ortodoksi mendominasi keberadaan ulama mayoritas yang diakui.Â
Mereka harus berkolaborasi dengan penguasa agar keberadaan mereka aman dan secara ideologis, tradisi keagamaan mereka yang mendominasi tetap dapat dipertahankan. Bukan tidak mungkin, bahwa Pilpres kali ini tak hanya sekadar wujud pertarungan politik, namun lebih jauh adalah "pertarungan ideologis" antara kelompok "sempalan" dan kaum ortodoksi.
Gerakan sempalan politik tak ubahnya bagian dari gerakan "sempalan agama" yang saat ini justru cocok ketika memotret kecenderungan pilihan politik diantara dua kekuatan yang ada. Penguasa yang memang berkolaborasi dengan aliran keagamaan mainstream yang didukung para ulama "ortodoks" melawan suatu kekuatan sempalan politik yang didukung oleh sekelompok orang yang dianggap "keluar", "menyimpang" atau "memisahkan diri" dari umat.Â
Kekhawatiran ulama ortodoks terhadap gerakan sempalan yang ikut menyuarakan pergantian kekuasaan, seolah dipandang sebagai bagian dari gerakan tertentu yang harus dikalahkan secara ideologi dan politik. Sempalan politik dianggap "sesat" dalam amal politik mereka, sehingga kelompok mainstream merasa berhak meluruskannya, bahkan melawannya dengan cara-cara kepolitikan mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H