Gerakan sempalan politik seperti menemukan momentumnya pada Pilpres kali ini, dimana perlawanan mereka yang cukup kuat juga mulai dibalas dengan beragam konotasi politik lainnya yang mengatasnamakan penguasa.
Jika mungkin boleh dipetakan, bahwa gerakan-gerakan mainstream dalam hal keagamaan yang saat ini ada seperti MUI, Syuriah NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan lainnya, ternyata juga melahirkan gerakan-gerakan sempalan politik didalamnya. Tak semua orang NU mendukung penguasa yang saat ini mayoritas diantaranya mendukung petahana dan secara langsung ingin mengantarkan petahana menang dalam Pilpres kali ini.Â
Di MUI juga kurang lebih sama, bahwa ada gerakan sempalan politik yang dikenal sebagai GNPF yang tetap eksis menyuarakan sikap kritisnya terhadap penguasa. Muhammadiyah tak jauh beda, gerakan sempalan politik barangkali sudah lebih dulu ada dan beberapa tokohnya justru corong utama paling keras dalam mengkritik penguasa.
Membaca berbagai gerakan sempalan politik memang semakin menarik, terutama ditengah dominasi ulama ortodoksi yang mapan justru memberikan dukungan politiknya kepada penguasa. Seolah-olah dukungan politik ini dikaitkan dengan kekhawatiran mereka akan gerakan "sempalan agama" yang anti-mainstream dan menyimpang secara ortodoksi mendominasi keberadaan ulama mayoritas yang diakui.Â
Mereka harus berkolaborasi dengan penguasa agar keberadaan mereka aman dan secara ideologis, tradisi keagamaan mereka yang mendominasi tetap dapat dipertahankan. Bukan tidak mungkin, bahwa Pilpres kali ini tak hanya sekadar wujud pertarungan politik, namun lebih jauh adalah "pertarungan ideologis" antara kelompok "sempalan" dan kaum ortodoksi.
Gerakan sempalan politik tak ubahnya bagian dari gerakan "sempalan agama" yang saat ini justru cocok ketika memotret kecenderungan pilihan politik diantara dua kekuatan yang ada. Penguasa yang memang berkolaborasi dengan aliran keagamaan mainstream yang didukung para ulama "ortodoks" melawan suatu kekuatan sempalan politik yang didukung oleh sekelompok orang yang dianggap "keluar", "menyimpang" atau "memisahkan diri" dari umat.Â
Kekhawatiran ulama ortodoks terhadap gerakan sempalan yang ikut menyuarakan pergantian kekuasaan, seolah dipandang sebagai bagian dari gerakan tertentu yang harus dikalahkan secara ideologi dan politik. Sempalan politik dianggap "sesat" dalam amal politik mereka, sehingga kelompok mainstream merasa berhak meluruskannya, bahkan melawannya dengan cara-cara kepolitikan mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H