Sudah menjadi hal lumrah, ketika perseteruan para politisi hanya berakhir di ruang media sosial tanpa klarifikasi tatap muka sambil ngopi. Dalam banyak hal, medsos semakin menjadi ruang bebas publik untuk menyuarakan banyak hal, termasuk yang paling dianggap privasi sekalipun.Â
Medsos tentu saja menjadi semacam makelar informasi bahkan mungkin korespondensi yang melibatkan banyak pihak. Untuk meminta suatu klarifikasi, cukup hanya "mencuit" tanpa harus bertanya apakah benar yang membalas adalah sang pemilik akun.Â
Korespondensi pada akhirnya diwakili oleh akun-akun bukan oleh pribadi-pribadi sebenarnya. Diskusipun cukup diselesaikan dengan cara saling cuit tanpa menemukan suatu kesimpulan utuh yang melegakan banyak pihak.
Suatu kejadian yang sangat mengharukan saya kira, ketika seorang ulama diseret-seret untuk masuk kedalam gelanggang politik praktis. Perihal yang menimpa Kiai Maimoen Zubair (Mbah Moen) seolah menegaskan bentuk paling nyata dari politisasi ulama melalui titipan-titipan doa secara khusus dalam kemenangan salah satu kontestan politik.Â
Sekalipun soal politisasi ulama ini bukan hal baru, namun kejadian yang menimpa ulama sepuh kharismatis itu bisa menjadi preseden buruk kedepan, dimana mereka "dipaksa" untuk berdoa dengan membacakan nada-nada tertentu dalam konteks dukungan politik.Â
Sekalipun memang ada tradisi yang melegalkan "makelar Tuhan" yang dalam konteks ajaran Islam disebut sebagai "washilah", namun secara umum washilah yang dimaksud hanya untuk kebaikan bukan dalam hal kekuasaan politik.
Dalam tradisi Islam Indonesia misalnya, banyak orang-orang yang berwashilah kepada para kiai, orang-orang saleh, bahkan juga para tokoh yang sudah meninggal agar dengan segala kebajikan yang telah mereka lakukan dan memberi manfaat kepada banyak orang, kita dapat berdoa melalui washilah kebaikan yang mereka miliki.Â
Tradisi ini memang kerapkali menimbulkan kritik, karena seolah-olah mereka memanfaatkan orang lain untuk berdoa, padahal doa sesungguhnya adalah permintaan seseorang secara personal kepada Tuhannya secara langsung, tanpa perantara.Â
Di sisi lain, washilah menjadi keniscayaan dalam perantara untuk memohon kepada Tuhan, karena yang meminta perantara biasanya tidak lebih baik dari mereka yang dijadikan perantara.Â
Maka, karena keyakinan bahwa mereka yang menjadi perantara kedekatannya kepada Tuhan lebih baik, tradisi washilah ini menjadi ramai dan dipertahankan menjadi bagian dari nilai-nilai agama Islam.
Saya tidak akan mengomentari soal perdebatan Fadly Zon dan Romahurmuziy yang diperkuat juga oleh rasa penasaran Lukman Saifuddin dan Alissa Wahid.Â