Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerungisme, "Politik" Akal Sehat, dan Pemandu Sorak

4 Februari 2019   11:53 Diperbarui: 4 Februari 2019   12:02 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat berlebihan ketika kemudian, soal "dungu" yang populer dinarasikan Gerung lalu dikaitkan dengan kajian kitab-kitab klasik kalangan pesantren yang tiba-tiba mempersalahkan setiap narasinya. 

Padahal, soal kajian filsafat dalam tradisi keilmuan Islam sudah diperdebatkan sejak abad 11, ketika Imam Al-Ghazali membuat suatu karya monumental "Tahafut Al-Falasifah" yang menyerang bahkan "mengkafirkan" para filosof yang mengedepankan cara berpikir bebas nilai soal kenyataan penciptaan Tuhan atas alam semesta. 

Sekalipun Al-Ghazali mengkritik begitu keras para filosof muslim, tetapi tak sampai mengganggu wacana pemikiran Islam yang terus berkembang---tanpa pretensi politik apapun---dari zaman ke zaman.

Memang sudah lumrah, bahwa dalam membaca dan memahami suatu ide atau gagasan, terlebih tertuang dalam bentuk teks, kita tidak bebas dari prasangka. 

Nothing is understood that is not construed, begitu kata Schleiermarcher. Tidak ada pemahaman tanpa melibatkan suatu penafsiran dan kebanyakan tentu saja bias dan cenderung bermakna subjektif. 

Lalu, bagaimana seharusnya dalam alam filsafat dapat lebih objektif dalam menilai suatu kebenaran? Jika soal pernyataan seseorang itu memiliki korelasi positif antara pernyataan dan kenyataan, maka terori korespondensi menilainya sebagai suatu kebenaran. 

Maka, seharusnya ketika alam filsafat banyak dibahas dalam mengoreksi kehadiran "Gerungisasi", diperlukan sikap saling mendengarkan (reciprocal listening), toleransi, dan saling menghargai (mutual respect).

Namun, sulitnya kenyataan yang dipengaruhi beragam aktivitas politik sekaligus mendapat tambahan dari beragam informasi yang sudah "dipelintir" dan "dipolitisir", banyak narasi-narasi ilmiah yang kemudian tunduk pada kenyataan politik bukan sebaliknya. 

Mereka-mereka yang terlampau disibukkan oleh suasana membangun klarifikasi dan saling counter pendapat, tak ubahnya kelompok pemandu sorak yang jingkrak-jingkrak jika kubu politiknya menguasai panggung kekuasaan. 

Politik tak ubah seperti medan hasrat pemuasan tertentu yang sangat berpengaruh terhadap persepsi besar siapa lawan dan mana kawan dan yang paling menggelikan mereka sibuk menafsirkan beragam pesan simbolik seseorang seraya menjauhi secara substantif nilai-nilai kepolitikan itu sendiri.

Menilai keberadaan Gerungisme saya kira tak lebih dari upaya suatu pembangunan opini dengan diksi yang kritis terhadap kekuatan "maha besar" penguasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun