Ramai soal sosok Rocky Gerung belakangan, seolah dirinya diposisikan seperti selebritas yang bercerai lalu kawin lagi. Membicarakan dirinya kebanyakan hanya berkutat pada soal suka atau tidak suka, simpatisan atau oposan, bahkan mungkin moral dan amoral.Â
Bagi para pendukungnya atau minimal penyukanya, setiap kritikan mbalelo Gerung seolah menambah kekuatan politik untuk "melawan" hegemoni kekuasaan, disisi lain, pernyataan-pernyataan Gerung yang menggelitik, kerap mengganggu bahkan tak lebih dari sekadar "sampah akademis" yang memenuhi lini media masa.Â
Gerungisme menjadi "oase" ditengah fanatisme politik yang saling berhadapan, terlepas dari ide, gagasan, bahkan narasi-narasinya yang terkesan kontradiktif.
Hampir seluruh narasi Gerung yang diungkapkan---dan yang paling banyak di media sosial---lebih cenderung bernarasi "penghinaan"---jika tak boleh disebut kritis. Diksi "bodoh", "dungu", atau "akal sehat" barangkali menjadi ikon naratif pendiri Setara Institute ini yang belakangan malah dilaporkan oleh pihak-pihak yang terganggu dengan berbagai ceramahnya.Â
Sosok Gerung yang terus menuai kontroversi seolah terus dipersekusi agar siap menghadapi konsekuensi hukum atas segala hal yang diperbuatnya dan ia dibidik karena ucapannya soal "kitab suci fiksi", suatu diksi hukum terkait ujaran kebencian yang sarat nuansa politik dibelakangnya.Â
Pernyataan yang sudah kadaluarsa ini seolah menegaskan bahwa "Gerungisme" harus diberantas hingga akar-akarnya karena mengganggu dalam konteks politik dan bahkan agama.
Saya tak mengenal Gerung dan mungkin juga anda yang banyak menulis soal Gerung lalu dibagikan dalam berbagai ranah media sosial. Kritik pada sosok Gerung lalu dikait-kaitkan dengan latar belakang dirinya sebagai akademisi yang bergelut dalam dunia ilmu filsafat.Â
Hampir semua narasi yang menyoal Gerung adalah menyerang---untuk tidak menyebut melakukan kritik---yang tampak canggung membedah setiap narasi Gerung dari sisi ilmu filsafat.Â
Padahal, filsafat tentu saja ilmu kritis bahkan sangat radikal dalam membahasakan apapun sehingga hampir tak ada kebangunan suatu kenyataan ilmiah yang lepas sama sekali dari filsafat di dalamnya. Berfilsafat berarti "bebas nilai" dalam hal berpikir dan membangun argumentasi secara logis dan terbuka dalam hal kritik asal dibangun secara logis pula dan bebas dari nilai-nilai moralitas agama.
Anehnya, banyak kalangan anak muda muslim progresif yang menyampaikan kritik atas Gerung tetapi hanya berkutat pada soal diksinya menyoal diksinya tentang "politik akal sehat", yang dibenturkan secara nyata pada konteks besar kecenderungan pilihan politik.Â
Padahal, Gerung yang memang seorang partisan politik tidak dalam konteks menyetubuhi kelebihan berpikir filosofisnya dengan tujuan melahirkan "anak-anak" filsafat yang partisan. Banyak orang yang terganggu dengan pernyataan Gerung karena dianggap menyerang penguasa, padahal dalam suatu iklim demokrasi mengkritisi dengan warna apapun tentu saja bentuk kewajaran yang tak perlu dipersoalkan.