Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Kembali Terjebak Isu Anti-Islam

25 Januari 2019   16:11 Diperbarui: 25 Januari 2019   16:29 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi ini, arus lalu lintas di sekitar Pamulang dan Ciputat di Tangerang Selatan (Tangsel) tidak seperti biasanya. Hujan yang sudah mengguyur kawasan ini sejak malam, semakin menambah wajah jalanan tak bersahabat. 

Informasi yang tersebar di grup WA soal rencana kedatangan Presiden Jokowi ke Tangsel untuk membagikan lebih dari 40 ribu sertifikat tanah kepada warga, semakin memperjelas alasan kepadatan jalanan. 

Kejadian Jumat pagi ini memang sangat tidak biasa, puluhan bahkan ratusan bis berkapasitas besar tampak menutup seluruh jalanan dari arah BSD ke Pamulang. Mereka kemungkinan mengantar warga yang akan memperoleh sertifikat tanah langsung dari Presiden!

Arus lalu lintas dipastikan macet total, ditambah guyuran hujan deras menambah suasana semakin dirasa tak masuk akal. Perjalanan saya ke tempat kerja hari ini nyaris 2 jam lebih, padahal biasanya jarak tempuh hanya 15 menit. 

Beginilah suka-duka kedatangan orang nomor satu di Indonesia, dimana tentunya kita sebagai rakyat kecil harus tunduk dan patuh pada setiap aturan protokoler untuk "mendahulukan" kepentingan segelintir orang sekalipun harus mengorbankan banyak pihak. 

Disisi lain, kegiatan ini penting, karena sebagian warga tentu gembira mendapatkan selembar sertifikat sah yang langsung diterimanya dari seorang presiden yang paling dibanggakan.

Situs berita tercepat detikcom kemudian mewartakan kunjungan Jokowi ke Pesantren Bayt al-Quran yang dipimpin ulama terkemuka, Prof Dr Qurais Shihab. Pesantren yang letaknya persis di depan lapangan terbang Pondok Cabe ini memang terhitung baru---sekitar tahun 2009 dibuka---dan posisinya pun hanya mengambil beberapa hektar tanah disamping komplek besar perumahan elit. 

Pertemuan Jokowi dengan Qurais yang tampak cair, sekaligus mempertegas bahwa Jokowi sesungguhnya tak pernah ada masalah dengan ulama, apalagi dengan kalangan Islam. Sejauh yang saya tahu, isu-isu yang menyebut Jokowi anti-ulama bahkan anti-Islam seolah sedemikian kuat berpengaruh, sampai-sampai beberapa kali harus ia tepis termasuk ketika diungkapkannya kembali di sela agenda bagi-bagi sertifikat tanah di Tangsel hari ini.

Pertemuan dengan Qurais Shihab, seharusnya telah cukup menjadi alasan bahwa Jokowi memang tidak anti-ulama, terlebih cawapresnya sendiri merupakan ulama kenamaan asal Banten yang saat ini tengah dikunjungi wilayahnya. 

Pertemuan Jokowi dan Qurais di Bayt al-Quran---sekalipun tidak diulas rinci oleh media---menyiratkan pesan penting, dimana dirinya memang selalu terbuka dan diterima hangat oleh hampir seluruh kalangan ulama, tanpa harus mengkaitkan pretensi politik apapun didalamnya. 

Memang harus diakui, Jokowi nampaknya cenderung lebih nyaman dengan ulama-ulama berlatarbelakang NU yang moderat dan mungkin saja terkesan menjaga jarak dengan ulama-ulama lainnya yang menurut penilaiannya kurang moderat.

Warna Islam moderat dalam banyak hal, memang semakin dibutuhkan ditengah persepsi keberagamaan masyarakat Islam Indonesia yang belakangan nyaris terpapar sektarian. 

Walaupun terkadang wacana ini terkesan "hegemonik" dan bermuatan politik, namun dalam bingkai besar masyarakat Indonesia yang multi-etnik, moderasi tetap dianggap satu-satunya jalan keluar dari berbagai kebuntuan berbangsa, bernegara, dan beragama. Islam moderat tentu saja bukan label pada satu kelompok tertentu atau bukan juga klaim sepihak penguasa yang pada akhirnya tampak menggiring sensitifitas keberagamaan kelompok lainnya. 

Bagi saya, ciri moderatisme Islam tentu saja telah memiliki sejarah panjang yang berakar dalam masyarakat Indonesia yang kemudian membedakannya dengan keberagamaan masyarakat muslim di belahan dunia lainnya.

Ungkapan Jokowi yang masih berjuang menepis berbagai anggapan soal dirinya yang anti-islam dan anti-ulama, seharusnya sudah tak perlu diungkit lagi. Banyak kenyataan politik yang menilai, bahwa tuduhan-tuduhan itu jelas tak berdasar dan hanya menjadi alat politik kepentingan demi tujuan "penjegalan" dalam suasana kompetisi politik. 

Rasanya sudah terbiasa di jelang masa-masa akhir kontestasi politik, bahwa masing-masing pihak yang berkompetisi akan melakukan apapun demi kejatuhan lawan politiknya. 

Propaganda yang menyebut Jokowi anti-Islam tanpak linier pada akhirnya dengan kebangkitan isu soal "politisasi agama" itu sendiri. Agama dijadikan "alat" yang paling mutakhir dalam setiap kompetisi, terlebih bahwa secara faktual Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.

Seolah masuk dalam perangkap isu-isu ini, Jokowi dalam berbagai kesempatan seringkali mengulas soal kekecewaannya dituduh anti-Islam. Padahal, jika memang itu hanya isu-isu sekadar menjalankan skenario politik di tengah derasnya persaingan kompetisi, seharusnya Jokowi tak menanggapinya terlalu berlebihan. 

Selain tak akan berpengaruh secara signifikan terhadap sisi elektoral, mengungkit kembali soal kekecewaan ini ditengah kegiatan resmi pembagian sertifikat kepada warga, malah bisa menjadi semacam "kampanye politik" yang mungkin saja blunder bagi dirinya. Pihak oposisi dengan mudah akan menyebut bahwa aksi bagi-bagi sertifikat yang dilakukannya jelas pencitraan, terlebih ditengah semakin dekatnya jarak pelaksanaan pemilu.

Sekalipun sulit untuk tidak menyebut bahwa kegiatan bagi-bagi sertifikat itu terkait erat dengan posisi Jokowi sebagai petahana, namun tak seharusnya soal isu politik yang mendiskreditkan dirinya terus diungkap dihadapan publik. 

Alih-alih meyakinkan publik soal kemudahan birokrasi yang lebih rasional, Jokowi malah terjebak dalam arus besar yang mengangkat isu-isu anti-Islam dan anti-ulama yang sejauh ini dituduhkan kepada dirinya. 

Disisi lain, soal wacana Islam moderat seolah-olah hanya dilekatkan penguasa pada pihak-pihak tertentu yang memang secara politik memberikan dukungan kepadanya dan tak mau berkompromi dengan kalangan Islam yang notabene kontra terhadap pemerintahannya. 

Namun, ditengah kenyataan tahun politik yang semakin disruptif, sulit rasanya pihak petahana membuat pertahanan politik, kecuali memang "berlindung" dibawah kelompok-kelompok akomodasionis yang disebutnya sebagai kalangan "Islam moderat".

Wacana agama-negara dan berbagai artikulasinya memang seakan tak pernah hilang menjadi bagian dari sejarah panjang kepolitikan di Indonesia. Jika dulu depolitisasi Islam dipaksakan oleh rezim Orde Baru dengan membuat berbagai struktur artifisial sebagai bentuk "kompromi politik" negara dengan berbagai kalangan Islam, di masa Jokowi ini malah terkesan sebaliknya. 

Perlawanan kelompok Islam tampak kuat mewarnai rezim pemerintahannya, bahkan isu soal dirinya yang anti-Islam seolah terus ditanggapi tak habis-habisnya dalam setiap kunjungan resminya ke berbagai wilayah. 

Pada akhirnya, soal Islam moderat terasa keluar dari konteksnya, hanya menjadi alat kepentingan penguasa untuk memberangus kelompok-kelompok Islam lainnya bahkan sedikitpun tak ada ruang bagi mereka. 

Disinilah saya kira, perlu bagaimana mengimplementasikan suatu politik yang "kompromistis" yang tidak berlebihan juga tidak "memihak" sehingga warna Islam moderat tampak hadir sebagaimana mestinya, bukan dibuat-buat atau seolah-olah diciptakan untuk kepentingan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun