Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bagimu Capresmu, Bagiku Capresku, Baginya Golputnya

22 Januari 2019   13:49 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:54 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kenapa, Pilpres 2019 kali ini terasa sangat jauh berbeda dengan drama-drama di pilpres sebelumnya yang tanpa diksi agama-pun semua berjalan lancar dan biasa-biasa saja. Memang, kenyataan pilihan politik yang hanya memungkinkan memilih satu diantara dua kandidat, menciptakan suasana politik yang semakin tampak tidak nyaman bagi sebagian orang. 

Tak adanya kandidat lain sebagai pilihan, membuat ada diantara masyarakat yang tak peduli dengan situasi ini lebih memilih Golput atau minimal tak ikut-ikutan menambah masalah dalam ritme besar tarik menarik kepentingan antara dua kubu pendukung kandidat politik ini. Golput tentu saja pilihan rasional bahkan paling rasional ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan politik yang cenderung "dipaksakan" seolah diperhadapkan pada pilihan dalam hal keyakinan atau agama.

Jika memang realitas politik hanya diukur oleh diksi "bagimu capresmu, bagiku capresku" atau disisi lain menganggap bahwa kekuatan politik wajib dipergunakan untuk menegakkan agama, telah secara tegas menyepelekan mereka yang berprinsip "netral" dalam berpolitik, dimana mereka tak ada pilihan lain diantara keduanya, sebab "baginya adalah golputnya". 

Memilih untuk tidak memilih juga merupakan bagian dari bentuk aspirasi politik yang rasional, tanpa harus diarahkan, ditunjukkan, apalagi dicekoki drama-drama politik yang menjengkelkan. Sebab, politik bukanlah agama yang "wajib dipilih", maka golput mewakili kalangan yang paling rasional karena menghindari aspek keagamaan secara kognitif yang dipaksakan hidup dalam sebuah ruang besar politik.

Saya bukan sedang menganjurkan untuk golput, sebab golput dalam konteks pilihan politik tak ubahnya pribadi yang gamang tak punya pendirian. Namun persoalannya, menjadi golput di era kekinian dengan dihadapkan pada realitas sosial-politik yang saling bertentangan dengan tujuan untuk lebih "mendamaikan" seteru politik kedua belah pihak, masih dianggap perlu. 

Menyuarakan golput bukan berarti "tak memilih" tetapi lebih kepada "tak memihak" sebab pilihan itu pada akhirnya akan kembali kepada diri masing-masing dan dilakukan secara tertutup dalam bilik-bilik suara. Jika sudah tahu pilihan politik masing-masing, maka tak perlu lagi rasanya meyakinkan semua pihak dengan berbagai dalih "kebenaran" yang saling diperebutkan.

Jika Ma'ruf Amin mengulang kembali diksi keagamaan dalam politik dengan menyebut "tawasuth" (prinsip jalan tengah dalam pilihan), maka prinsip ini berlaku untuk "tidak memihak" tetapi lebih menawarkan prinsip bagaimana agar kenyataan dua kubu yang saling bertentangan tidak kita ikuti atau malah masuk menjadi pendukung salah satunya. 

Prinsip "tawasuth" berarti kita harus berada dalam posisi "mendamaikan" bukan ikut larut dalam berbagai pertentangan politik. Itulah kenapa, Imam Syafi'i pernah mempopulerkan sebuah adagium, "fa idza shahha al-hadiits fahuwa madzhabii" (jika ada dalil yang lebih kuat, maka saya akan ambil sebagai caraku bermazhab).

Sungguh, politik tak berkaitan dengan soal keyakinan yang diidentikkan dengan pilihan beragama, pun bukan soal perbedaan mazhab yang kadang antara satu dan lainnya saling kontradiktif. Politik adalah suksesi kepemimpinan yang dijalankan melalui cara-cara paling rasional dengan prosedur-prosedur yang telah disepakati bersama. 

Bahkan lebih jauh, politik adalah bagaimana soal kekuasaan, kehormatan, dan kemewahan materi kita raih dan kita rebut dari pihak lain. Para "golputers" nampaknya lebih adil dalam memandang setiap kenyataan politik, tanpa harus mempertentangkannya atau mendukungnya, tetapi lebih memberikan kebebasan sebagaimana setiap prosedur suksesi politik itu disepakati bersama. 

Jadi, wajar jika pendukung golput tampaknya mulai tumbuh, membangun ide-ide segar berpolitik secara lebih rasional bahkan jauh lebih arif dari kenyataan dua kubu yang saat ini sedang berkontestasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun