Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bagimu Capresmu, Bagiku Capresku, Baginya Golputnya

22 Januari 2019   13:49 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:54 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soal pilihan politik tak ubahnya seperti keyakinan dalam memilih sebuah agama, seolah sosok pemimpin politik menjadi penentu "selamat" atau tidaknya semua orang. Sebab, prinsip "keselamatan" (salvation) tentu saja ada dalam semua agama dan setiap pemeluknya meyakini bahwa agama yang saat ini diyakininya mampu menyelamatkan seluruh hidupnya hingga nanti dibangkitkan kembali di Hari Kiamat. 

Pidato cawapres no urut 01 Ma'ruf Amin di Trenggalek, seolah mempertegas soal pilihan politik yang linier dengan keyakinan agama, dimana setiap orang bebas menentukan keyakinan dan tak perlu memaksakan keyakinan dirinya kepada orang lain.

Diksi "bagimu capresmu dan bagiku capresku" yang diungkapkan Ma'ruf memang mengadopsi dari bahasa Alquran, "lakum diinukum waliya diini" (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa Pilpres 2019 kali sarat narasi-narasi keagamaan dan bahkan kerap dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. 

Pilihan politik seolah menjadi "sakral" tak ubahnya kepercayaan terhadap agama, bahkan maraknya entitas bahasa agama yang masuk kedalam ruang-ruang publik-politik seolah menjadi semacam perjuangan agama itu sendiri. Politik yang bernilai profan, lalu diubah menjadi bergaya "profetik" seolah mereka yang menyebarkan keunggulan setiap kandidatnya, menjadi nabi-nabi politik bagi umatnya.

Banyak sekali ungkapan atau meme-meme yang disebarkan dengan mengolah diksi keagamaan untuk hal-hal terkait politik pencapresan. Sebut saja misalnya, ada meme dengan mengusung gaya jihadis dengan latar seorang ustaz dengan tulisan, "Menggunakan Islam untuk kepentingan politik itu haram, menggunakan kekuatan politik untuk tegakkan Islam itu wajib". 

Ini disebarkan dalam konteks suksesi politik nasional, dimana seolah-olah ketika kekuatan politik itu dipergunakan untuk menegakkan agama itu diwajibkan. Padahal, Islam sendiri dapat tegak karena umatnya salat dan akan runtuh seluruh tiang-tiang penyangga agamanya karena banyak umat muslim sendiri meninggalkan salat. Islam tegak karena salat bukan karena kekuatan politik!

Diksi-diksi keagamaan memang telah jauh masuk ke dalam ruang-ruang politik, bahkan telah sedemikian marak mencemari cara beragama dan berpikir setiap orang terhadap kenyataan politik. Bagaimana tidak, pilihan politik seolah menjadi agama itu sendiri lalu dikupas sedemikian rupa melalui ceramah-ceramah keagamaan dengan menyampaikan pesan-pesan tertentu yang dimanipulasi secara politik. 

Simbol keulamaan yang melekat pada seseorang sebagai penyedia  kebutuhan rohani umat, seolah berubah menjadi simbol pemecah-belah yang sedemikian parah, ketika diksi-diksi keagamaan yang dipoles digunakan sedemikian rupa untuk mempertegas pilihan politiknya kepada salah satu kandidat.

Saya sendiri sangat menyayangkan ketika Ma'ruf Amin kerap kali menggunakan diksi keagamaan ketika menyampaikan pidato politiknya. Bukan apa-apa, label keulamaan semestinya tetap melekat pada dirinya sebagai sosok pengisi rohani umat yang membutuhkan, tidak lantas luntur atau hilang karena dirinya saat ini tengah menjadi salah satu kandidat politik. 

Cukuplah agama menjadi entitas substantif yang mewarnai setiap proses politik, bagaimana soal kejujuran para kontestannya, niat yang tulus mereka untuk memperbaiki kondisi negeri, dan mampu menciptakan kesejahteraan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali. 

Terlalu jauh jika soal pilihan politik disandingkan dengan keyakinan agama, dimana politik berasal dari pilihan-pilihan rasional dan agama jelas berdasarkan pilihan irasional karena berasal dari hidayah Tuhan, bukan atas dorongan pilihan pribadi seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun