Mungkin terasa sulit dibayangkan, bagaimana agama Islam begitu mudahnya diterima para penguasa jika yang dimaksud bahwa Islam masuk melalui jalur-jalur perdagangan. Kenyataan bisnis yang bersifat keekomian, akan sangat sulit jika sambil diiringi penyebaran agama dengan tujuan mengubah keyakinan.Â
Maka, hanya dengan cara akulturasi budaya yang paling masuk akal, sehingga Islam kemudian sanggup mendobrak keyakinan para penguasa untuk lebih menerima Islam sebagai agama yang tak mempertentangkan kenyataan tradisi yang telah ada sebelumnya.
Masyarakat Nusantara yang telah lama menganut tradisi Hindu-Budha dengan segala keunikan budayanya, sudah tak asing dengan berbagai aspek spiritual yang dijalaninya. Para raja atau elit masyarakatnya seringkali menjadi sosok kharismatik yang dihormati dan dikagumi karena memiliki seperangkat nilai asketisme dalam wujud ilmu kanuragan dan kesakten yang membedakannya dengan masyarakat biasa pada umumnya.Â
Realitas spiritual inilah yang selanjutnya dimanfaatkan oleh para wali dalam mengembangkan ajaran-ajaran Islam selaras dengan nilai-nilai tradisi asketisme masyarakat, tanpa harus mempertentangkan antara satu dan lainnya.
Memang terasa sulit membayangkan, apa sesungguhnya metode para penyebar (misionaris) Islam ini sehingga Islam benar-benar dapat diterima sebagai ajaran kebajikan yang mencerahkan. Ada benarnya, ketika Azyumardi Azra menyebut dalam disertasinya berjudul "The Origins of lslamic Reformism in Southeast Asia" bahwa Nusantara telah memiliki jaringan keulamaan dengan Mekah-Madinah yang saling terkoneksi dalam tradisi intelektual yang cukup rumit, namun diakui bahwa masing-masing bertukar tradisi dalam kerangka besar jaringan-jaringan ulama Timur Tengah dan Melayu-Nusantara.Â
Mereka dikenal sebagai "ashab al-Jaawiyyiin" yang masing-masing membawa semacam "tradisi kecil" dari wilayahnya, lalu berinteraksi dengan sejumlah tradisi Islam lainnya, sehingga pada akhirnya membentuk "tradisi besar Islam" yang sangat kosmopolit dan tersebar ke berbagai wilayah melalui jaringan keulamaan yang terbangun.
Tidak menutup kemungkinan, Tahlil menjadi suatu tradisi yang memang terbangun selaras dengan jaringan rumit keulamaan yang telah lama terbentuk bahkan sejak abad 13 dimana mulai munculnya kerajaan Islam di Nusantara. Aktivitas masyarakat yang lekat dengan berbagai nilai tradisi dan budaya yang bernuansa ekstatik dan asketik, sejauh ini hanya mampu didekati oleh kenyataan ajaran Islam dengan model kecenderungan yang sama.Â
Ajaran Islam dengan corak sufistik, nampaknya paling mungkin diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia, mengingat ajaran-ajaran tasawuf sarat nilai spiritual akan cocok dengan kenyataan tradisi masyarakat.Â
Memang, tidak semua ajaran tasawuf diadopsi dalam rangka penyebaran agama Islam, namun ternyata para ulama memilih untuk "memadukan" prinsip ajaran tasawuf dan syariat (neo-sufism) sekaligus, agar ajaran Islam mampu "menyesuaikan" dengan berbagai tradisi lokal yang telah lebih dulu hadir.
Prinsip neo-Sufism ini dipopulerkan oleh Azyumardi Azra sebagai sebuah perpaduan antara tradisi Islam dan tradisi lokal, tanpa harus membuka pertentangan ideologis ditengah masyarakat yang sudah teguh memegang tradisi dan adat.Â
Neo-Sufism seolah merekonsiliasikan antara tasawuf dan syariat, mereformulasi ulang nilai-nilai penting ajaran Islam dengan meninggalkan sifat ekstatik dan metafisiknya, seraya menggantikannya dengan dengan rumusan-rumusan ortodoksi Islam.