Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Guru Ngaji

16 Januari 2019   10:39 Diperbarui: 16 Januari 2019   10:52 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasionalitas kepolitikan kita nampaknya tengah diuji, ditengah hampir hilangnya gagasan-gagasan kemanusiaan dan visi-misi para kandidat Pilpres yang lebih realistis tergerus oleh maraknya fakta retoris sekadar adu mulut, saling tuding, saling serang, bahkan saling bantah antarsesama kubu.

Tak hanya itu, rasionalitas politik seakan tak laku karena tergantikan oleh argumentasi politik yang bersifat "fantasi", manipulatif, bahkan mungkin tampak sebatas "kosmetik" sekadar mendongkrak elektabilitas masing-masing.

Para jubir politik hanya bertugas menangkis serangan-serangan lawannya, bukan memberi pencerahan kepada masyarakat soal bagaimana kebaikan negeri ini dibangun. Politik pada akhirnya semakin tak rasional, terlebih ketika soal baca alQuran justru menjadi "alat" dimana tiba-tiba muncul sosok-sosok guru ngaji yang dipolitisasi.

Hanya dalam Pilpres 2019, muncul para guru ngaji yang masing-masing memberikan testimoni kepada para muridnya yang saat ini menjadi capres.

Tak hanya soal pengakuan begitu baiknya bacaan alQuran murid-muridnya ini, namun lebih dari itu sikap keberagamaan mereka dinilai para guru ngaji sekadar memberitahukan kepada publik bahwa kedua kandidat ini benar-benar teruji secara agama.

Ngaji-pun pada akhirnya "dipolitisasi" menjadi ajang pembenaran politik dimana seolah-olah setiap kontestan yang tidak bisa ngaji, akan gagal menjadi calon presiden. Politik guru ngaji semakin menambah realitas politik kekinian tampak absurd bahkan melampaui tujuannya sendiri yang rasional.

Bagi saya, ukuran bagaimana seseorang baik dalam bacaan alQuran tidaklah sesederhana sebagaimana yang dibayangkan, terlebih ada ajakan satu pihak untuk mengkontestasikan perihal pembacaannya yang disaksikan oleh khalayak.

Soal kontestasi bacaan alQuran yang dilombakan saja masih menuai pro-kontra, apalagi soal ngaji yang dikontestasikan dalam ranah politik.

Saya kira, seseorang yang lancar atau tidak dalam membaca alQuran tidaklah suatu jaminan bahwa seseorang itu dianggap teruji kualitas agamanya. Itulah kenapa, dalam Islam yang harus pertama kali dipelajari dan diserap dalam kepribadian adalah soal pemantapan perilaku (akhlak), sebab perilaku yang baik adalah cerminan dari keseluruhan ajaran yang tertuang dalam alQuran.

Menjadi pembaca alQuran yang baik, tentu saja sangat rumit ukurannya karena selain alQuran berbahasa Arab sehingga menyulitkan dalam teknik pelafalannya secara benar (makhraj), setiap ayat yang dibaca memiliki tanda-tanda tertentu yang seringkali dibaca berbeda dari kenyataan tekstualnya.

Jika hanya sekadar mampu membaca lancar tanpa memperhatikan "tanda-tanda" bacaannya sebagaimana yang dituntut oleh ilmu tajwid, jelas merupakan kesalahan besar yang bahkan akan mengubah seluruh makna tekstual sekaligus kontekstual alQuran itu sendiri. Saya jelas tak memahami, apa sebenarnya "kehendak politik" dari mereka yang menggagas kontestasi baca alQuran bagi setiap kandidat calon presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun